Siang itu
matahari tak nampak diperaduannya, sepertinya saat ini ia sedang malas keluar.
Awan mendung tampak mulai gusar, menanti waktunya untuk menumpahkan segala
amarahnya. Layaknya sang awan, Hayati juga nampak gusar. Hatinya sedang tak
ingi diajak kompromi. Dua jam sudah ia duduk di kursi depan menanti dan
mengharapkan kedatangan suaminya, tetapi lelaki itu tak nampak juga. Perlahan
air matanya menetes, tangisannya pun pecah dibarengi awan mendung yang tak tahan
lagi dengan kegusarannya, kemudian menumpahkan segala amarahnya ke bumi.
Hayati
kembali teringat dengan kejadian dua hari yang lalu. Ketika Bangpuase, preman
di desanya, datang ke rumah dengan kabar yang tak diduganya sama sekali.
Awalnya ia tak percaya akan perkataan Bangpuase, tetapi hatinya tak bisa diajak
kompromi untuk pertama kalinya.
“Ngapai
lu kesini? Tumben-tumbenan lu main ke rumah gua!” ucap Hayati ketus.
“Jangan
galak-galak lah mpok, lu mau denger kabar terbaru dari laki lu kagak?” rayu
Bangpuase agar dirinya bisa duduk sejenak dan menikmati kudapan yang ada di
meja ruang depan milik Hayati.
Hayati
mulai tertarik, lakinya sudah seminggu tak pulang ke rumah. Namun, dirinya
masih menahan ketertarikannya agar Bangpuase tak mendapatkan keinginannya
dengan mudah. Hayati sudah kenal betul siapa Bangpuase, preman kampung yang
licik dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginananya.
“Yaudeh,
sini masuk. Lu ketemu laki gua dimane?” tanya Hayati langsung.
“Sabarlah
mpok, gua nikmatin dulu nih kue mahal,” jawabnya, sembari mengambil kue yang
ada di meja tanpa meminta persetujuan dari Hayati.
Hayati
sudah terbiasa dengan sikap Bangpuase, walaupun warga kampungnya banyak yang
menjauhi Bangpuase dan memperingatkan Hayati. Namun, Bangpuase adalah salah
satu tetangganya yang mau menemaninya ke desa sebelah untuk bermain ceki.
Walaupun begitu, Hayati tetap berhati-hati dengan perilaku Bangpuase yang
licik.
Hayati
memandangi Bangpuase yang sedang menikmati kue mahal yang ia beli di kota
kemarin. Hayati tak tahu dengan kabar yang dibawa oleh Bangpuase. Bangpuase
telah selesai menikmati kuenya.
“Buruan
ngomong, kagak usah banyak basa-basi lagi,” ucap Hayati tak sabar.
“Sabar
mpok,” Bangpuase membenarkan posisi duduknya. “Kemarin siang, gua ketemu laki
lu di pasar. Die kagak sendirian mpok, die lagi jalan sama cewek cantik. Gua
ngasih tau lu, karena gua peduli mpok sama lu. Gua kagak mau Si Miun, laki lu
itu, nyakitin hati lu. Jadi, gua samperin die dan tanya kemana aja die seminggu
ini. Tapi mpok, gua jadi kagak enak mau ngomong,” Bangpuase berpikir sejenak.
“Laki lu bilang, die udah kagak tahan sama sikap lu. Die udah kagak mau tau
lagi tentang lu dan die bilang kalok die mau nikah sama cewek yang jalan sama
die ntuh,” jelas Bangpuase mulai tak enak.
Mendengar
hal tersebut, Hayati merasakan ada retakan dalam dirinya. Suami yang selama ini
sabar menghadapi perilakunya, sepertinya sudah menyerah. Bang Miun, suaminya
yang ia sayangi, walaupun hal itu tak diketahui oleh Miun. Sepertinya sudah
menemukan pengganti dirinya. Hatinya tak lagi retak, kini hatinya telah hancur
berkeping-keping.
Bangpuase
yang paham akan keadaan Hayati, memilih untuk pergi. Bangpuase tak ingin
membuat pikiran Hayati semakin ruwet dengan kehadiran dirinya. Hayati yang
melihat kepergian Bangpuase tak mengatakan sepatah kata pun. Ia sudah terlalu
bingung dengan kabar yang disampaikan oleh Bangpuase. Puncak kebingungannya
adalah hari ini, seminggu lebih Bang Miun tidak pulang. Hayati tak tahu lagi
harus mencarinya kemana.
Seseorang
masuk ke pekarangan rumah Hayati, dibawah guyuran hujan yang deras orang
tersebut nampak sehat tanpa kekuarangan satu apa pun. Hayati tak sadar akan
kehadiran orang tersebut. Hayati masih menangis, rasa pedih di hatinya tak
mampu ia tahan sendiri. Orang itu telah berada dihadapan Hayati. Payung yang ia
bawa ia taruh didekat kakinya.
“Lu,
nangis?” tanya orang itu dengan nada heran.
Hayati
menghentikan isaknya, ia terkejut dengan suara tanya dari orang itu. Suara yang sangat ia kenal. Suara yang
telah ia nanti selama seminggu lebih. Suara yang mampu menenangkannua. Akhirnya
suara itu kembali, pemilik suara itu telah kembali.
“Bang
Miun!” teriaknya histeris, ia langsung memeluk suaminya itu.
“Apaan
sih lu, tumben-tumbenan lu nangis. Kagak main ceki lu sama Bangpuase?” jawab
Miun masa bodoh dengan istrinya.
“Bang,
aye kagak mau dimadu. Aye kagak mau Abang nikah lagi, emang siapa sih Bang yang
buat Abang jadi kayak gini,” Hayati kembali menangis.
“Lu
ngomong apaan sih? Kalok lu kagak mau gue madu, lu kudunye ngurusin gua. Kagak
main ceki sama Si Puase terus, ngurusin rumah sama laki lu. Kagak kelayapan
melulu, lagian hak gue mau nikah berapa kali,” jawab Miun acuh.
Hayati hanya
mampu menangis, ia sadar selama ini tak mampu mengurusi suaminya dengan baik.
Ia tak mampu lagi berucap, semua yang dikatakan suaminya benar. Ia tak becus
menjadi seorang isteri, ia tek becus mengurusi rumah maupun rumah tangganya
sendiri. Ia berusaha untuk kuat, ia harus menanggung semua kesalahannya yang ia
perbuat sendiri.
“Kapan
Abang mau nikah?” tanya Hayati berusaha tegar.
“Gua
nikah besok, gua langsungin pernikahanye di rumah. Gua mau lu bantu enyak
nyiapin semuanye, gue kagak mau denger lagi keluhan lu. Gua mau masuk dulu, mau
tidur,” jawab Miun ketus.
Hayati berusaha
sabar, ia tak ingin membuat suaminya semakin membencinya. Hayati menyanggupi
permintaan Miun untuk menyiapkan pernikahan. Ia tak tahu bagaimana ia mampu
menahan emosinya sendiri. Namun, tanpa ia sadari hati kecilnya telah memendam
dendam yang tak ia sadari.
Pernikahan
Miun berjalan dengan lancar. Dengan bantuan Hayati pernikahan itu berjalan
dengan meriah dan suasana kekeluargaan yang kental. Semua tetangga merasa iba
dengan keadaan Hayati saat ini, tetapi mereka mekmaklumi sikap Miun yang
memilih untuk menikah lagi.
Miun dan
isteri barunya tinggal di rumah yang sama dengan Hayati. Hayati tak masalah
dengan hal tersebut. Hal yang paling penting adalah Miun pulang ke rumah dan
ada di dekatnya.
Tiga
bulan telah berlalu, pernikahan Miun dengan Hayati dan pernikahan Miun dengan
isteri barunya tak ada masalah. Hingga suatu hari, ketika Hayati sedang
membantu tetangganya yang akan melaksanakan hajatan ia mendapatkan kabar yang
membuat hatinya menjadi panas. Kabar itu ia dapatkan dari Bangpuase, katanya
Miun dan isteri barunya akan menonton Amir Hamzah di desa sebelah. Selama
pernikahan yang Hayati jalani dengan Miun, Miun tak pernah mengajaknya pergi
bahkan tak pernah mengajaknya menonton pertunjukan. Hal ini membuat dendam yang
ia pendam kembali muncul setelah tiga bulan ia tahan. Bangpuase memberikan
saran kepada Hayati untuk membalas kelakuan Miun yang telah keterlaluan
terhadapnya. Bangpuase memberi ide utuk menghabisi isteri baru Miun. Hayati
yang telah gelap hati pun menerima ide Bangpuase. Hayati berencana menghabisi
isteri baru Miun nanti malam, ketika mereka menuju ke desa sebelah.
Hayati
telah mempersiapkan semuanya, ia telah mengambil pisau dapur yang telah ia asah
terlebih dahulu. Niat balas dendamnya sudah mantap, ia sudah terlalu lelah
dengan sikap Miun yang mau menghukumnya karena tak becus menjadi seorang
isteri. Malam itu, Hayati melihat Miun dan isteri barunya tengah bersiap-siap
untuk pergi. Hayati pun juga telah siap, dengan pisau di tangan dan muka yang
ditutupi kain, Hayati telah siap membalaskan dendamnya.
Hayati
membuntuti Miun perlahan-lahan, jalanan yang ramai membuat Miun tak sadar akan
kehadiran Hayati. Ketika mereka sampai di tempat yang sepi, Hayati segera
menutupi hidung dan mukanya dengan selendang yang telah ia bawa. Secepat kilat,
Hayati berlari dan menarik tangan kiri isteri baru Miun. Miun yang kaget dengan
kejadian itu segera menarik tangan kanan isterinya. Melihat kemungkinan yang sangat
kecil untuk membawa isteri baru Miun, Hayati segera menghunuskan pisau yang
telah ia bawa ke perut isteri baru Miun. Darah segar mengalir di pisau dan
tangan Hayati. Hayati segera lari begitu melihat isteri baru Miun terjatuh dan
Miun menangis histeris.
Hayati
segera melarikan diri, ia takut jika Miun mengejarnya. Ketika tadi ia mendengar
tangisan Miun, ia sadar akan kesalahannya yang sangat fatal. Ia terlalu
mengikuti nafsunya, ia terlalu pongah dengan apa yang ia perbuat. Sekarang
tangannya gemetar, ia tak tahu harus lari kemana. Jika ia kembali ke rumah, ia
tak akan tahan dengan kesedihan yang dirasakan Miun akibat dari perbuatannya. Hayati
sempat berpikir untuk lari ke rumah Bangpuase, tetapi ia tak maun jika
Bangpuase ikut bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
Ketika ia
merasa sudah jauh dari tempat ia membunuh isteri baru Miun, Hayati menghentikan
larinya. Nafasnya tersenggal-senggal, kakinya terasa pegal, dan tanggannya
masih gemetar. Ia masih bingung harus melarikan diri kemana. Ia langsung duduk
karena tak mampu lagi menahan pegal yang dirasakan kakinya. Apa dia kembali
saja ke rumah mendiang kedua orang tuanya? Namun, ia teringat bahwa ia sudah
menjual rumah mendiang kedua orang tuanya untuk taruhan main ceki. Lalu ia
berpikir untuk ke ruman encingnya, tetapi ia teringat kembali bahwa encingnya
telah mengusirnya dan melarang dirinya untuk kerumah. Akibat dirinya terlalu
sering main ceki dan menghabiskan seluruh hartanya untuk taruhan tanpa
tertinggal satu apa pun.
Kemudian
Hayati sadar akan perbuatannya selama ini. Ia terlalu sering bersenang-senang
sendiri tanpa memikirkan orang tuannya dan suaminya. Selama ia membangun rumah
tangga dengan Miun, ia tak pernah menyiapkan makan atau pun mengurusi rumah. Ia
terlalu sibuk bermain ceki dengan teman-temannya. Ia selalu meminta uang kepada
Miun untuk bermain ceki. Hayati menangis untuk kedua kalinya, bahkan ia sadar
bahwa dirinya tak pernah menangis. Ia sadar bahwa dirinya selalu marah jika
Miun tak membawa uang sepeser pun. Tangisannya semakin keras dan pilu, ia sadar
akan dosa yang telah ia perbuat.
Hayati
bangkit dari duduknya, kini giliran kakinya yang gemetar. Dengan langkah gontai
Hayati berjalan menuju jembatan yang ada di depannya. Ia tak mampu lagi menahan
segala dosa yang telah ia perbuat. Ia telah membunuh semua orang yang
dikasihinya. Ia telah membunuh Miun karena ia telah merenggut kebahagiaan
laki-laki itu. Hayati tak mampu lagi menahan semunanya.
Saat
dirinya telah sampai di jembatan yang menghubungkan desanya dengan desa yang akan
dituju oleh Miun, ia segera menepi dan menghadapkan dirinya ke sungai yang
arusnya deras karena musim penghujan telah tiba. Hujan kembali turun, nampaknya
alam pun mengerti kesedihan dan kebingungan yang dirasakan Hayati. Hayati naik
ke atas jembatan, ia sudah tak mampu lagi menahan semua yang telah ia perbuat.
Tanpa pikir panjang Hayati langsung terjun ke dalam sungai. Tangisan pilu
Hayati kembali terngiang.
cerita nya sangat menarik.
BalasHapuslike.
cerita nya sangat menarik.
BalasHapuslike.