A. Sinopsis
Elisa merupakan anak peranakan Belanda
dan Indonesia, keluarganya akan kembali ke Belanda. Namun, dirinya tidak
tertarik akan tawaran keluarganya untuk kembali ke Belanda. Ia merasa bahwa dia
adalah seorang warga Indonesia. Ketika orang tuanya menanyakan perihal
teman-teman lelakinya yang sering datang ke rumah, Elisa hanya mengganggap
mereka hanya sekadar teman. Termasuk Rudi, lelaki yang sering mengunjunginya
dan satu-satunya teman lelaki yang lebih bersipat laki-laki. Elisa mengharapkan
pasangannya adalah seorang Indonesia yang berdarah Jawa. Kemudian, Elisa
dikenalkan dengan seorang pemuda yang bekerja di bagian Protokol di istana
bernama Sukoharjito. Sukoharjito merupakan saudara sepupu dari Lansih sahabat
Elisa. Elisa sempat diajak Sukoharjito mengunjungi keluaranganya yang tinggal
di Solo, Jawa Tengah. Perjalanan itu mereka bagi menjadi dua waktu agar mereka
tidak merasa kelelahan. Elisa dan Sukoharjito singgah di Semarang, Elisa pun
sempat bertemu dengan ibu Lansih. Ketika Elisa ulang tahun, Sukoharjito
memberinya sebuah cincin yang terbuat dari leburan cincin milik nenek
Sukoharjito yang telah meninggal. Seperti harapan seorang gadis kebanyakan,
Elisa mengharapkan Sukoharjito yang memasangkan cincin itu di jari manisnya.
Harapan itu harus kandas karena Elisa sendiri yang mengambil cincin itu dan
memasangkannya sendiri di jari manisnya sebelah kiri. Setahun sudah Elisa
menjalin hubungan dengan Sukoharjito. Akan tetapi tak selamanya Sukoharjito
dapat menemaninya atau mendatanginya ketika ia libur tidak ada jadwal
penerbangan. Terkadang Sukoharjito akan datang ketika Elisa sedang kelelahan
setelah jadwal penerbangan yang padat untuk memenuhi hutangnya menemui Elisa.
Terkadang Elisa harus pergi seorang diri dengan teman-temannya ke sebuah pesta
karena mendadak Sukoharjito mendapatkan tugas dari atasannya. Hal itu terus
berulang dengan alasan yang hampir selalu sama. Namun, Elisa tak pernah merasa
kesal atau marah. Ketika ia merasa kesal atau marah terhadap sikap kekasihnya
itu dengan mudah ia akan memaafkannya karena ia tidak tahan dengan rayuan yang
diutarakan Sukoharjito. Kabar yang tidak diharapkannya pun datang. Ketika ia
sedang menghadiri acara perkawinan anak buah Lansih, ia memdapatkan kabar bahwa
Sukoharjito akan menikahi kemenakan ajudan Presiden. Kabarnya Sukoharjito dan
kekasihnya akan menikah sekitar satu bulan atau satu setengah bulan lagi.
Awalnya Elisa tak menyadari apa yang akan ia rasakan setelah menerima kabar
itu. Namun, kemudian ia menyadarinya dan menangis mertapi nasibnya sendiri.
Untuk mengurangi kesedihannya, Lansih memberi saran kepada Elisa untuk
mengunjungi Talib di rumah sakit.
Esoknya Elisa mengunjungi Talib di rumah
sakit, keadaannya mulai memmbaik. Talib telah dapat duduk. Jari-jarinya sebelah
kiri sudah dapat merasakan sentuhan. Elisa berusaha menutupi kesedihannya di
hadapan Talib, sikapnya dengan Talib hampir sama. Saling diam dan terkurung.
Sukar sekali untuk sampai tahap keakraban keluarga. Sepulangnya dari rumah
sakit, Elisa terus masuk ke dalam kamarnya. Selama dua pekan lebih Elisa hidup
seperti daun yang tertanggal dari dahan. Hingga suatu hari sepulangnya dari
dinas, ia diberi tahu oleh Lansih bahwa adik Sukoharjito datang ke rumah.
Lansih memberikan alamat tempat tinggal adi-adik Sukoharjito pada Elisa. Ia tak
tahu harus berbuat apa dihadapan kedua adik Sukoharjito. Untuk membesarkan hati
Elisa agar tidak terlalu terlarut dalam kesedihannya, Lansih memberi tahu Elisa
alasan mengapa Sukoharjito akan segera menikahi kekasihnya. Alasannya adalah
karena kekasih Sukoharjito telah mengandung anak dari saudara sepupunya itu.
Anna dan Wati pun turut menyampaikan opini mereka tentang sikap Sukoharjito
yang pengecut dan tidak tegas. Pandangan-pandangan itu membuat hatinya lega, ia
merasa beban yang selama ini ia rasakan sudah menghilang. Setelah hubungannya
kandas dengan Sukoharjito, Elisa dekat dengan seorang lelaki bernama Gail. Gail
adalah seorang wartawan asing sebuah pusat siaran radio dan televisi Amerika.
Sifat Gail yang perhatian membuat Elisa tertarik pada Gail, tetapi sifat Elisa
seperti Wati. Sukar berkenalan dan bergaul. Suatu sore, sepulangnya Eilsa dari
bertugas Lansih memberitahunya bahwa Gail akan berkunjung sore itu. Elisa
menanyakan alasan Gail datang ke rumah, apakah ada urusan dengan Wati. Tetapi
Lansih mengatakan bahwa Gail ingin bertemu dengan Elisa, awalnya Elisa tidak
mengerti dengan sikap Lansih yang selalu ikut campur dalam kehidupannya. Namun,
Elis sadar bahwa sikap Lansih yang kadang membuat hatinya sakit adalah karena
kesetia kawanan dan kepedulian Lansih terhadap hidup Elisa. Elisa pun mengajak
Gail untuk menjenguk Talib di rumah Tuan Sayekti. Elisa merasa sangat senang dapat
pergi dengan Gail. Elisa sempat mengalami kecelakaan pesawat yang menewaskan kaptennya,
yaitu Sukarna. Kecelakaan pesawat itu menyadarkan Elisa akan keberuntungan yang
dimilikinya yang diberikan oleh Tuhan. Namun, pada akhirnya Elisa mengalah pada
keadaan buruk yang selalu menimpanya, ia pun memilih untuk kembali ke negara
asalnya, Belanda.
B. Unsur Intrinsik
1.
Alur
Alur yang digunakan dalam novel
karya N. H. Dini yang berjudul “Keberangkatan” adalah alur maju. Pembuktiannya
adalah sebagai berikut,
a. Eksposisi
Keberangkatan keluarga Elisa ke
Belanda, karena sikap orang Indonesia yang buruk terhadap keluarganya yang
merupakan orang keturunan Belanda.
“Juga hari itu
yang terakhir bagi mereka yang berpisahan dengan bumi Indonesia. tanah yang
menjadi tempat kerja sementara bagi sebagian orang, tetapi juga tanah yang
menjadi negeri kelahiran sejak berpuluh keturunan.” (Keberangkatan, 10)
Keputusan orang tua Elisa untuk
meninggalkan Indonesia karena sikap orang Indonesia yang semena-mena karena
mereka orang keturunan Belanda.
“Akhirnya semua
godaan dan ketakutan itu tidak dapat dilawan. Orang tuaku memutuskan akan
meninggalkan Indonesia....” (Keberangkatan, 28)
b.
Konflik
Kebebasan yang Elisa terima dalam
bergaul setelah ia keluar dari rumah orang tuanya. Elisa pun dekat dengan
beberapa lelaki yang hanya ia anggap sebagai teman mengunjungi pesta, berdansa,
atau menonton film.
“Keluar dari
rumah orang tua, aku lebih memmiliki kebebasan buat bergaul. Tidak ada orang
yang mengatur dengan siapa aku dapat pergi.....Beberapa pemuda yang dulu sering
berkunjung ke rumah orang tuaku masih
kadang-kadang muncul. Mereka bisa datang menjemputku untuk bersama
bergerombolan mengnujungi pesta, berdansa, atau menonton film.” (Keberangkatan,
30)
c.
Komplikasi
Elisa berkenalan dengan seorang
lelaki bernama Sukaharjito yang merupakan saudara sepupu dari Lansih,
sahabatnya. Pertemuannya dengan Sukoharjito yang serba singkat dan hanya
sebatas kebetulan itu membuat Elisa mengharapkan bertemu dengan Sukoharjito.
“.....Pernah
juga kami bertemu ketika aku akan berangkat dinas terbang, kami bercakap-cakap
sebentar. Tidak pernah kami membuat perjanjian. Tetapi pertemuan-pertemuan yang
serba singkat itu lama kelamaan menjadi sesuatu yang kuharapkan. Setiap saat
yang kuhabiskan bersama Sukoharjitomenjadi sesuatu yang berkesan.....”
(Keberangkatan, 35)
d.
Klimak
Hubungan Elisa dengan Sukoharjoti
pun berlanjut. Namun, hubungan itu tanpa ucapan kata cinta yang keluar dari
mulut Sukoharjito. Setiap pertemuan yang mereka lakukan diakhiri dengan ciuman
panjang dan pegangan-pengangan Sukoharjito pada tubuh Elisa.
“.....Dan sekali
lagi dia menciumku, lama. Aku memejamkan mata. Terbang hingga ke lapisan langit
keberapa tak kuketahui. Lalu kurasa tangannya meraba leher, turun ke dadaku.
Sentuhannya yang perlahan itu membakar seluruh hayatku. Aku terkejut karenanya.
Berusaha menjauhkan diri. Dalam sinar suram kebun.....” (Keberangkatan, 65)
“.....kalau kami
memang akan menjadi suami-isteri, dia berhak memanangku seperti miliknya,
seperti juga dia adalah milikku. Tetapi aku tidak bisa sampai kepada penyerahan
diri mutlak. Keperawanan yang kutempatkan di atas segalanya hanya akan
kuberikan jika waktunya telah tiba.” (Keberangkatan, 85)
e.
Anti
klimak
Sukoharjito sudah jarang menemui
Elisa. Rencana mereka untuk keluar bersama pun selalu gagal karena tugas
Sukoharjito yang menjadi alasannya.
“....Kuharapkan
sikap tegasnya yang berujud perkawinan. Tetapi sebaliknya, malahan semakin
jarang dia muncul atau meniliponku. Selalu dengan alasan yang sama. Dan selalu
jika dia datang, aku tidak dapat berbuat sesuatu pun, hanya memandangnya disaat
dia mengatakan sebab-sebab mengapa tidak datang ke rumah.....” (Keberangkatan,
132)
f.
Resolusi
Elisa mendengar kabar bahwa
Sukoharjito akan segera menikah dengan seorang kemenakan dari ajudan presiden.
Berita ini membuatnya sakit hati. Selain itu, perempuan yang menjadi kekasih
Sukoharjito telah mengandung. Hal inilah yang menyadarkan Elisa.
“.....Seperti
olok-olok tanggal satu April, tetapi diucapkan dengan kesungguhan muka yang
tidak dapat disangkal: Sukoharjito akan segera kawin dengan kemenakan ajudan
Presiden. Barangkali bulan depan, barangkali satu stengah bulan lagi.”
(Keberangkatan, 138)
“.....Lansih
berhenti, tetapi tidak menunggu jawaban dari siapa pun, meneruskan sambil
menatap mataku,’Karena kemenakan ajudan Presiden itu sudah mengandung. Oleh
karenanya keluarganya mendesak agar perkawinan dilangsungkan secepatnya.’ Yang
terpikir olehku adalah nasibku sendiri, bukan nasib gadis lain atau siapa
saja.” (Keberangkatan, 144)
g.
Selesaian
Sakit hatinya pada Sukoharjito
membuatnya sangat terpuruk. Ia pun mengaku kalah pada dirinya sendiri karena
tak mampu lagi menjadi warga Indonesia. Elisa kembali ke Belanda.
“.....Keinginan
meninggalkan Indonesia yang semula disebabkan oleh Sukoharjito, semakin hari
semaki bertambah sebab-sebabnya. Namun aku sekaligus malu jika rekan-rekan
sekerja yang mengenalku sebagai seorang gadis peranakan yang ‘terlalu’
keindonesiaan dalam segala hal, tiba-tiba berangkat ke Belanga.”
(Keberangkatan, 182)
“.....Ya. untuk
kesekian kalinya dia benar. Aku memang kalah. Dengan mati-matian aku telah
mencoba mengaikan nasib kepada sesuatu yang kuat, yang dapat kugantungi seluruh
hidupku. Yang kukira merupakan satu-satunya tujuan pokok dalam hidupku sebagai
seorang perempuan peranakan.....” (Keberangkatan, 183)
Di dalam novel ini terdapat juga
kaidah alur, yaitu:
a. Tegangan
(suspense)
Tegangan yang terjadi dalam novel
ini adalah ketika Elisa bertemu dengan Talib, paman yang berasal dari serpihan
masa lalunya. Ketika Elisa datang ke rumah Talib, Talib mengusirnya karena ia
merasa dirinya tidak sakit dan tidak membutuhkan pertolongan dokter maupun
orang lain.
b. Kejutan
(suprise)
Kejutan yang ada dalam novel ini
adalah ketika kecelakaan yang dialami oleh Elisa, ia menganggap bahwa hal itu
merupakan akhir dari hidupnya.
c. Kemasukakalan
(plausibility)
Kemasukakalan yang ada dalam novel
ini adalah ketika Elisa mengetahui kekasihnya, Sukoharjito, akan menikah dengan
kemenakan ajuda Presiden karena telah dalam keadaan mengandung.
2.
Tokoh
dan Penokohan
a. Elisa
Pengiba
“Sekali lagi
hatiku dilimpahi perasaan iba yang tidak dapat kutapsirkan. Pandangan bocah
yang jernih tanpa dosa itu semakin berlawanan dengan muramnya langit hari
itu.....” (Keberangkatan, 14)
Keras Kepala
“Sekali itu
kakakku mengerutkan keningnya.’Kau benar-benar keras kepala,’ katanya, tetapi
tidak melanjutkan sesuatu pun.” (Keberangkatan, 89)
Terbuka dan Percaya
“.....Sikapku
terhadapnya kucoba lebih terbuka dan percaya. Aku ingin menunjukkan rasa terima
kasih karena hasratnya memperkenalkannya padaku pada keluarganya.....” (Keberangkatan,
85)
Pendiam
“.....Aku
menjadi pendiam dan dingin karena tidak banyak diberi kesempatan buat
mengatakan isi hati. Selama tinggal bersama orang tua, aku takut mengambil
prakarsa apa pun juga. Karena terbiasa menerima teguran.....” (Keberangkatan,
95)
Sabar
“.....Aku harus
bersabar lagi untuk menerima datangnya pinangan.” (Keberangkatan, 104)
b. Lansih
Pengetahuan luas
“.....Kukagumi
keluasan pengetahuannya dalam berbagai lapangan. Semakin terasa olehku betapa
bedanya latar belakang kehidupan kami berdua.....” (Keberangkatan, 46)
Sabar dan Teliti
“.....Dengan
teliti dan sabar, setiap kali ada sesuatu yang harus diterangkannya, tanpa
keangkuhan dia memberitahuku. Sejarah dan kekayaan kebudayaan tanah kelahiranku
dibukakan oleh Lansih.....” (Keberangkatan, 46-47)
Lembut
“.....Dengan
akalnya yang lembut dan manja, Lansih berhasil menarik uang lagi dari saku
saudaranya agar membayar buah-buahan yang dibelinya.....” (Keberangkatan, 53)
c. Anna
Gigih
“.....Kegigihannya
meneruskan pelajaran itu membikin kami lunak hati terhadap
kesalahan-kesalahannya. Padaku sendiri yang ada ialah kekaguman
terhadapnya.....” (Keberangkatan, 44)
Lalai
“.....Setiap
waktu dia lalai akan kerja tanggung jawabnya, akulah yang bersedia
melaksanakannya. Tetapi aku tidak selalu hadir untuk menutupi
kekhilafannya.....” (Keberangkatan, 44)
d. Rini
Malas
“.....luarnya
sering berganti, kelihatan rapi. Tetapi baju dalamnya tak keruan. Sobek di sana
sini, dikaitkan dengan satu atau dua jarumpeniti karena kemalasannya
menjahit.....” (Keberangkatan, 45)
Masa bodoh
“.....mengingatkannya
agar mengatur isi lemari, agar meluangkan sampiran pakaian yang ada di kamar.
Dengan tertimbunnya baju-baju di lusr lemari menarik nyamuk dan debu. Tetapi
Rini masa bodoh.....” (Keberangkatan, 45)
e. Wati
Lemah lembut
“Namanya Wati,
sipatnya lemah lembut keibuan. Selanjutnya dia mengganti Lansih dalam urusan
rumah tangga.....” (Keberangkatan, 46)
Cekatan
“.....Meskipun
umurnya lebih muda dari Lansih, kecekatannya mengatur segala yang bersangkutan
dengan urusan rumah melebihi kami bertiga. Sejak kedatangannya, kami mulai
mendapatkan berbagai macam makanan manis yang enak buatan sendiri.”
(Keberangkatan, 46)
f. Sukoharjito
Tidak tegas
“.....Kuharapkan
sikap tegasnya yang berujud perkawinan. Tapi sebaliknya.....” (Keberangkatan,
132)
“.....’Aku tidak
suka kepada laki-laki yang tidak tegas,’ Wati menyela.’Dia bergaul dengan gadis
itu. Tetapi membawamu ke rumah orang tuanya, memberimu cincin.’.....”
(Keberangkatan, 147)
Pengecut
“.....menyatakan
pikiran masing-masing, bertanya dan bertukar pandapat. ‘Dipandang dari satu
sudut, ada baiknya kau tidak kawin dengan Sukoharjito,’ kata Wati.’Melihat
sikapnya demikian, bagiku dia pengecut. Tidak berani berterus terang
kepadamu.’.....” (Keberangkatan, 146)
g. Talib
Pemarah
“.....Kemudian
menjadi pemarah, tidak bisa diajak bicara. Sebetulnya, kalau dipaksa, terus
dibawa begitu saja ke rumah sakit, barangkali dia sembuh.....” (Keberangkatan,
106)
Tidak peduli
“Matanya cekung
tetap seperti tidak peduli, membuatku tidak tahu lagi apa yang mesti ku
katakan.....” (Keberangkatan, 118)
h. Rukmana
Simpati
“Rukmana
memegang bahuku tanda simpati. Aku menoleh sambil berusaha tersenyum.”
(Keberangkatan, 112)
Pengertian
“.....Dengan
sendirinya aku sangat berterima kasih akan pengertian yang ditunjukkan Rukmana
terhadapku.....” (Keberangkatan, 113)
i.
Gail
Perhatian
“.....Cara
bicaranya yang lumrah dan seadanya, perhatiannya yang luar biasa akan
kepentingan-kepentingan wanita seperti yang dapat kudengar dari percakapan hari
itu, menyebabkab aku menyukainya.....” (Keberangkatan, 131)
3.
Latar
a. Tempat
Bandara
“Dari tempatku,
aku mengawasi majunya iringan penumpang, masuk ke bagian Pabean, terus ke
Imigrasi. Mereka berdesakan seperti takut ketinggalan pesawat.....”
(Keberangkatan, 13)
“Di seberang
hanggar, tampak pekerja-pekerja sedang memuatkan perbekalan dan mengisikan
bahan bakar pada sebuah pesawat ‘Convair’.....” (Keberangkatan, 17)
“Seorang pramugari darat tiba-tiba muncul dari kamar
tunggu, bergegas mendekati kami.....” (Keberangkatan, 189)
Pasar Senen
“Dari Cikini
kami singgah ke Pasar Senen. Dengan akalnya yang lembut dan manja, Lansih
berhasil menarik uang lagi dari saku saudaranya.....” (Keberangkatan, 53)
Perumahan Rajawali
“Lalu kami diantar
pulang ke Rajawali, Sukoharjito tidak turun, mengucapkan selamat malam sambil
mengingatkan janji ke Wisma Nusantara.” (Keberangkatan, 54)
Wisma
Nusantara
“Sukoharjito
nampak dikenal baik oleh penerima tamu yang bertugas di ruang makan Wisma Nusantara.
Kami segera mendapat meja di dinding, mempunyai pandanga ke seluruh isi ruang
dan sebagian kebun.” (Keberangkatan, 58)
Rumah Sakit
“Sukoharjito
pernah kubawa sekali untuk berkenalan dengan Talib di rumah sakit. Kukatakan
sebagai kawanku-begitu saja.....” (Keberngkatan, 140)
Pesawat
“.....Sewaktu
naik ke udara, di tempat dudukku, kurasakan kami seperti maju melawan tumpahan
air dari angkasa.” (Keberangkatan, 172)
b.
Waktu
Pagi
“Pagi-pagi buta
kami memeriksa tanggung jawab masing-masing. Isi kabin lengkap dengan bantal, selimut dan
perlengkapan keselamatan.....” (Keberangkatan, 114)
Siang
“Siang itu aku
dinas cadangan. Duduk di restoran lapangan terbang, diajak minum oleh seorang
kenalan yang kebetulan mengantar penumpang berangkat ke negeri Belanda.....”
(Keberangkatan, 104)
Sore
“Sore itu Anna
berangkat ke Surabaya. Sekali itu ia tidak berhasil menukar waktu dinasnya
dengan pramugari lain. Tetapi Anna sudah menguasai pelajarannya, dan akan ujian
pekan berikutnya.....” (Keberangkatan, 56)
Petang
“Petang hari,
kami tiba di Mangkubumen Kulon. Jalan yang menuju ke rumah orang tua kekasihku
tidak beraspal. Di kanan kiri dijajari pohon-pohon cemara, rapi dan sejuk.....”
(Keberangkatan, 98)
c.
Suasana
Muram
“Harinya basah
dan muram. Juga hari itu yang terakhir bagi mereka yang berpisahan dengan bumi
Indonesia. Tanah yang menjadi tempat kerja sementara bagi sebagian orang.....”
(Keberangkatan, 10)
Mengecewakan
“Kubayangkan
dalam mimpi-mimpi kegadisanku, pemuda yang kucintai akan memasukkan cincin pada jariku. Tapi dalam
hidup yang sebenarnya, kekasihku itu hanya mengajakku ke tukang emas,
membikinkan cincin yang terbuat dari bekas cicin kawin neneknya yang telah
meninggal, dan aku disuruhnya memilih macam batu yang kukehendaki. Aku bahkan ke
toko emas itu seorang diri untuk mengambil barang yang telah jadi beberapa
waktu kemudian. Tidak ada tangan pemuda yang memasangkannya, melainkan tangan
kananku sendiri.....” (Keberangkatan, 130)
Menyenangkan
“Seperti
terlepas dari hukuman, amat lega hatiku. Gail berdiri dari kursinya, dengan
sekali langkah berada di depanku. Tanpa basa-basi direngkuhnya tubuhku ke dalam
pelukannya. Kami berdua tertawa gembira seperti kanak-kanak.” (Keberangkatan,
137)
Menyedihkan
“Seketika itu
juga aku belum menyadari apa arti kabar tersebut bagiku. Baru setelah saat-saat
berangsur mengalir, semakin terasa beta luka dan pedihnya hatiku. Keesokan
harinya, aku tidak dapat menguasai diri untuk menghentikan tangis yang meratapi
nasibku.....” (Keberangkatan, 139)
Menegangkan
“Tiba-tiba,
seperti menerima sebuah pukulan, kapal miring ke kanan, sesaat kemudian miring
kembali ke kiri. Dan dengan kecepatan luar biasa terjun ke bawah bagaikan
sebuah batu yang dilemparkan ke dalam sumur. Seketika itu juga aku merasa
dingin. Tengkukku bagaikan diraba oleh udara beku. Seluruh tubuhku gemetar,
seolah-olah suatu peringatan akan terjadinya sesuatu yang menakutkan, sebuah
kecelakaan yang mengerikan.....” (Keberangkatan, 173)
4.
Sudut
Pandang
Sudut pandang yang digunakan
penulis dalam novel “Keberangkata” ini adalah sudut pandang orang pertama atau
penceritaan akuan. Pencerita sebagai salah satu tokoh dalam cerita berkisah
pada dirinya sendiri dengan sebutan aku atau saya. Novel “Keberangkatan”
menggunakan sudut pandang orang pertama tokoh utama karena pencerita bertindak
sebagai tokoh utama yaitu Elisa.
“Aku
telah siap. Sebentar-sebentar berdiri berjalan dari depan ke belakang untuk
menenangkan urat sarap. Kadang-kadang Wati memandangiku, tetapi tak berkata
sesuatu pun. Kupikir, dia tidak pernah mengalami kegelisahan yang kusandang
waktu itu.” (Keberangkatan, 56)
5.
Gaya
dan Nada
Gaya dan nada bahasa yang digunakan
oleh penulis adalah pengucapan bahasa sehari-hari dengan beberapa tambahan
bahasa Belanda dan istilah-istilah yang ada di bandara atau awak pesawat.
“.....Aku
melangkah mendekati kumpulan keluargaku. ‘Dag, Elisa,’ kata Silvi. Aku
merangkulkan lengan pada leher adikku. Tanpa berkata-kata lagi, kami
berpelukan.....” (Keberangkatan, 10)
“Suatu petang
aku tiba kembali dari Manila. Di dalam pesawat ada tokoh penting pejabat
pemerintah. Biasa disebut penumpang VIP dalam bahasa kerja kami. Rombongan
orang-orang demikian selalu disertai sejumlah pengikut, apalagi jika perjalanan
itu datangnya dari luar negeri. Demikian juga barangnya. Oleh karenanya, kami
awak pesawat biasa menunggu lama di Pabean. Tergantung kepada banyaknya petugas
serta jam kedatangan pesawat. Kalau kebetulan ada yang kami kenal baik, atau
yangmemperhatikan keletihan kami, salah seorang dari mereka datang mendahulukan
barang-barang awak pesawat. Tetapi lebih sering kami menunggu hingga tiba
giliran.” (Keberangkatan, 32)
6.
Tema
Menurut saya, tema yang digunakan
penulis dalam novel ini adalah kritik sosial. Mengapa bisa begitu? Karena,
ketika kita membaca novel ini dari awal sampai akhir kita bisa mengetahui bahwa
terjadi pertentangan antara rakyat Indonesia dengan orang-orang yang berasal
dari Belanda. Walaupun pada saat itu telah banyak warga Belanda yang berpindah
kewarganegaraan menjadi warga Indonesia. Namun, masyarakat Indonesia pada saat
itu masih belum bisa menerima kenyataan bahwa banyak warga Belanda yang
bepindah kewarganegaraannya. Sehingga banyak warga Belanda memutuskan untuk
kembali ke negaranya karena tidak tahan dengan sikap rakyat Indonesia saat itu
yang kasar.
“Kata Teo,
satu-satunya kedai yang mau menerima mereka terletak jauh di ujung jalan. Itu
pun dengan muka serta sikap yang menyakitkan hati. Beberapa tetangga
menghindar, tidak mau berbicara. Setiap kali anak-anak kampung melihat mereka,
beramai-ramai berseru sambil mengikutinya.’Anjing Belanda! Anjing Belanda!’”
(Keberangkatan, 28)
“Dalam keadaan
yang membara, nama-nama seperti Van Hoppe, Frissart, dan Dowes selalu menjadi
tujuan intaian para pemburu. Ya, karena sebenarnyalah istilah pemburu yang
patut dipergunakan. Begitu keputusan pihak atasan diumumkan, muncullah
demonstrasi-demonstrasi kebencian terhadap orang asing. Seolah-olah telan
direncanakan dari semula, tulisan-tulisan dengan huruf besar-besar dan nyata
dalam warna menyala tergores pada tembok-tembok atau pintu rumah-rumah kediaman
orang asing: Anjing Belanda, pulang ke negerimu! Ini bukan negeri orang bule!
Dan kata-kata lain yang melukai dan kasar pengertiannya.....” (Keberangkatan,
27)
7.
Judul
Keberangkatan
C. Unsur
Ekstrinsik
1. Biografi
Nurhayati Sri
Hardini Siti Nukatin atau yang lebih dikenal dengan nama NH Dini memang sudah
tak asing lagi sosoknya didunia sastra Indonesia. Potongan-potongan karyanya
sering kita temui pada soal-soal ujian bahasa Indonesia. Karya-karyanya yang
berjudul Tirai Menurun, Namaku Hiroko, Pada Sebuah Kapal, La Barka serial
Kenangan dan masih banyak lagi mampu membuat namanya menjadi salah seorang
sastrawan yang diperhitungkan keberadaannya di tanah air.
Lahir di Semarang
tanggal 29 Februari 1936, anak pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah ini sudah
mulai tertarik dengan dunia tulis menulis sejak ia duduk di bangku kelas 3 SD.
Dini kecil senang menuangkan segala pikiran dan perasaannya saat itu melalui
tulisan. Memasuki sekolah menengah, ia mulai rajin menulis sajak puisi atau
cerpen yang lalu dipajang di mading sekolahnya. Diusianya yang ke 15, ia
mengirimi tulisan-tulisannya ke siaran nasional RRI Semarang dan membacakannya
sendiri.
NH Dini juga sempat
bergabung dengan kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Bersari bersama
kakaknya Teguh Asmar dan sesekali menulis naskahnya sendiri saat ia duduk
di bangku SMA. Ia juga pernah bekerja sebagai pramugari di Garuda
Indonesia Airways. Sembari bekerja sebagai pramugari, ia menulis bukunya berupa
kumpulan cerita pendek yang berjudul Dua Dunia dan mencapai kesuksesan yang
begitu mencengangkan. Dalam banyak bukunya, NH Dini suka menuliskan cerita yang
menggambarkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan salah contohnya
adalah buku yang berjudul Jalan Bandungan.
Menikah dengan
Konsul berkebangsaan Perancis bernama Yvess Coffin, NH Dini melahirkan dua anak
bernama Marie Claire dan Pierre Louis Padang yang kini masing-masing menetap di
Kanada dan Perancis. Dan seperti kita tahu, Pierre Louis Padang merupakan
seorang sutradara dari film animasi berjudul Despicable Me 2 yang sukses
berbagai belahan negara di dunia.
Sebagai seorang
istri diplomat, NH Dini diharuskan untuk mengikut suaminya berpindah-pindah
dari satu negara ke negara yang lain. Ia bersama keluarganya pernah tinggal di
Jepang, Kamboja, Filipina, Amerika Serikat, dan Perancis. Namun, tahun 1984 ia
bercerai dengan suaminya dan sempat menimbulkan intrik karena meninggalkan
konstitusi perkawinan dan anak-anak lalu kembali memperoleh kewarganegaraan
Indonesia tahun 1985.
Saat menerima
penghargaan SEA Award dibidang sastra oleh pemerintah Thailand, Dini berujar
bahwa ia hanyalah seorang penulis biasa yang menuliskan realitas kehidupan,
kepekaannya terhadap lingkungan sekitar dan juga pengalaman pribadinya. Selain itu,
wanita yang mempunyai hobi dengan dunia tanaman ini mendirikan pondok baca yang
ia bernama Pondok Baca NH Dini.
Tahun 1991, Dini
meraih piagam penghargaan dari pemerintah kota tingkat I Jawa Tengah setelah
sebelumnya menerima hadiah seni dibidang sastra dari kementrian PdanK tahun
1989. Selama hidupnya, Dini selalu memegang teguh ajaran budipekerti yang
diajarkan oleh kedua orangtuanya. Ia juga tetap mempertahankan sikap idealisnya
dalam menulis, dan itulah sebabnya kenapa Dini tidak ingin terikat kontrak
dengan penerbit-penerbit besar yang menerbitkan buku. Baginya, ia ingin terus
mempertahankan kreativitasnya dalam menulis.
2. Sosiologi
Dari kehidupan penulis yang sangat
menjunjung tinggi atau memegang teguh ajaran budipekerti yang diajarkan kedua
orang tuanya serta pengalamannya menikah dengan seorang Konsul berkebangsaan
Perancis membuatnya memiliki kebudayaan yang ganda yaitu kebudaan Jawa yang
kental dan kebudayaan asing yang tidak ia hilangkan begitu saja. Dalam novel
ini unsur Jawa yang masih dimiliki oleh N. H. Dini dapat kita lihat pada
penggambaran tokoh Lansih yang setia kawan dan tokoh Wati yang lemah lembut
keibuan. Kemudian unsur asing dapat kita lihat pada tokoh Elisa. Kita dapat
melihat unsur asing pada perilaku kesehariannya ataupun perilakunya yang bebas
bergaul dengan siapapun.
3. Pandangan
Pengarang
Dari
dalam novel kita dapat mengetahu pandangan pengarang mengenai keadaan Indonesia
saat itu dan dari pandangan pengarang juga kita dapat mengetahu bagaimana
keadaan pesawat dan organisasi perusahaan GIA sebenarnya. Keadaan Indonesia
yang sedang ruwet karena banyak demo yang dilakukan rakyat menolak adanya warga
Belanda yang mengikrarkan diri menjadi warga negara Indonesia. Rakyat Indonesia
saat itu tidak terima dengan masih banyaknya warga Belanda yang tidak segera
pergi dari Indonesia pulang ke negara asalnya. Kemudian mengenai keadaan
pesawat dan organisasi perusahaan GIA, kita mendapatkan gambaran bagaimana
keadaan pesawat di Indonesia saat itu. Banyak pesawat yang mengalami kerusakan
sebelum lepas landas dan adapula kisah dimana pesawat yang ditumpangi oleh
Elisa, tokoh utama, jatuh ketika mereka baru lepas landas selama lima belas
menit. Hal ini menjadi sorotan tersendiri bagi pembaca karena tidak semua dari
kita tahu mengenai masalah penerbangan di Indonesia.
4. Latar
Belakang Penulisan Novel
Latar
belakang penulisan novel “Keberangkatan” oleh N. H. Dini menurut saya adalah pandangannya
mengenai sikap seorang wanita yang harus tetap kuat walaupun ia tidak diakui
kewarganegaraannya dan ditinggalkan oleh kekasihnya begitu saja. Seperti yang
kita tahu, bahwa beberapa karyanya beririsikan kesetaraan gender antara
laki-laki dengan perempuan. N. H. Dini mengatakan bahwa dirinya hanyalah
penulis biasa yang bahan tulisannya berasal dari realitas kehidupan, keadaan
lingkungan di sekitarnya, dan pengalamannya sendiri. Dalam novel
“Keberangkatan” ini kita bisa melihat banyaknya istilah dalam penerbangan dan
seluk beluk keadaan maskapai penerbangan GIA yang dapat kita temukan dengan
mudah di dalam novel. Hal ini dapat terjadi karena sebelumnya N. H. Dini pernah
bekerja sebagai seorang pramugari di Garuda Indonesia, jadi tidak mengherankan bahwa
ia tahu semua mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan pramugari dan
penerbangan beserta masalahnya masing-masing serta lingkungan yang ada di
sekitarnya.
D. Pendekatan
Pendekatan merupakan salah satu
unsur yang ada dalam menganalisis sebuah novel. Pendekatan itu sendiri
merupakan cara kita untuk mengetahui isi atau seluk beluk novel yang kita
analisis. Pendekatan dibagi menjadi lima, yaitu pendekatan emotif, pendekatan analitis,
pendekatan histois, pendekatan sosiopsikologis, dan pendekatan didaktis.
Pendekatan emotif adalah pendekatan yang didasari oleh emosi dan keindahan
dalam karya itu sendiri. Pendekatan analitis merupakan pendekatang yang membuat
kita melihat cara, sikap, dan mekanisme pembangunan di dalam novel. Pendekatan
historis merupakan pendekatan yang kita lihat dari segi adanya latar belakan
sejarah dalam novel. Pendekatan sosiopsikologis adalah pendekatan yang
dilakukan melalui latar belakang kehidupan sosial. Kemudian yang terakhir
adalah pendekatan didaktis, pendekatan ini menemukan dan memahami hal yang
berkaitan dengan gagasa atau ide dalam sebuah novel. Sebuah pendekatan dapat
muncul bersamaan atau sendiri-sendiri bergantung dengan pendekatan yan menonjol
dalam novel itu sendiri. Jika semua pendekataan muncul secara bersama-sama
disebut dengan istilah elektik.fungsi dari elektik ada tiga, yaitu agar pembaca
tidak merasa bosan, jika yang digunakan hanya satu pendekatan info yang akan
diterima oleh pembaca tidak akan lengkap, dan komplek. Namun, ketika semua
pendekatan muncul pilih salah satu pendekatan yang sangat menonjol dari karya
sastra itu. Menurut saya, novel berjudul “Keberangkatan” karya N. H. Dini memiliki
kelima unsur pendekatan, tetapi pendekatan yang paling menonjol adala
pendekatan emoti, pendektan yang memperhatikan aspek emosi dan keindahan yang
dirasakan oleh tokoh dalam cerita. Ketika seseorang membaca novel ini mereka
akan merasakan emosi yang menggebu. Emosi yang muncul ketika jam tangan yang
dibeli Elisa diminta secara paksa oleh ibunya; ketika Elisa bertemu dengan
Talib yang berasal dari masa kecilnya; ketika Elisa mendengar kabar bahwa kekasihnya,
Sukoharjito, akan menikah dengan gadis lain; ketika Elisa pergi ke rumah Tuan
Sayekti menggunakan scooter bersama Gail dan ia merasakan kegembiraan yang
belum ia rasakan setelah putus dengan Sukoharjito; ketika Elisa mengalami
kecelakaan pesawat yang menewaskan temannya, Sukarna; dan ketika Gail
mengetahui bahwa Elisa akan berangkat ke Belanda esok harinya. Pembaca bisa
merasakan emosi dan keindahan yang dialami oleh tokoh yang ada di dalam novel.
Kemudia pendekatan sosiopsikologis, pendekatan sosiopsikologis merupakan
pendekatan yang memperhatikan aspek latar belakang kehidupan sosial. Dalam
novel ini kehidupan sosial Elisa yang merupakan seorang pramugari yang juga
merupakan peranakan Belanda, harus menerima pandangan orang yang beranggapan
bahwa seorang peranakan asing terbiasa dengan pergaulan bebas. Keluarganya yang
juga merupakan peranakan Belanda tak luput dari olok-olok yang dilontarkan oleh
warga di lingkungan kampung tempat keluarga Elisa tinggal. Kemudia Psikologis
Elisa yang lupa akan masa kecilnya dan tidak dekat dengan ibunnya. Saat ia
putus cinta dan patah hati, ia berpikiran bahwa hanya dirinyalah yang merasakan kemalangan itu tanpa peduli
dengan lingkungan kerja maupun rumahnya. Pendekatan lain yang terdapat dalam
novel ini adalah pendekatan analitis, pendekatan historis, dan pendekatan
didaktis. Namun, semua pendekatan tersebut tidak terlalu menonjol. Pendekatan
analitis dapat kita gunakan ketika Elisa bertemu dengan Rama Beick yang
membicarakan mengenai seseorang yang muncul dalam banyangannya mengenai masa
kecilnya dan ketika pertama kalinya ia bertemu dengan Talib yang berasal dari
bayangan mengenai masa kecilnya. Kemudian pendekatan historis digunakan ketika
pemerintah membuka pendaftaran bagi warga Belanda yang ingin kembali ke tanah
airnya. Terakhir adalah pendekatan didaktis. Pendekatan ini dapat kita gunakan
ketika Lansih mengingatkan Elisa bahwa kemalangan yang ia rasakan bukanlah
satu-satunya hal yang peting untuk dipikirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar