Rabu, 03 Desember 2014

Analisis Novel Keberangkatan NH. Dini

A.  Sinopsis
Elisa merupakan anak peranakan Belanda dan Indonesia, keluarganya akan kembali ke Belanda. Namun, dirinya tidak tertarik akan tawaran keluarganya untuk kembali ke Belanda. Ia merasa bahwa dia adalah seorang warga Indonesia. Ketika orang tuanya menanyakan perihal teman-teman lelakinya yang sering datang ke rumah, Elisa hanya mengganggap mereka hanya sekadar teman. Termasuk Rudi, lelaki yang sering mengunjunginya dan satu-satunya teman lelaki yang lebih bersipat laki-laki. Elisa mengharapkan pasangannya adalah seorang Indonesia yang berdarah Jawa. Kemudian, Elisa dikenalkan dengan seorang pemuda yang bekerja di bagian Protokol di istana bernama Sukoharjito. Sukoharjito merupakan saudara sepupu dari Lansih sahabat Elisa. Elisa sempat diajak Sukoharjito mengunjungi keluaranganya yang tinggal di Solo, Jawa Tengah. Perjalanan itu mereka bagi menjadi dua waktu agar mereka tidak merasa kelelahan. Elisa dan Sukoharjito singgah di Semarang, Elisa pun sempat bertemu dengan ibu Lansih. Ketika Elisa ulang tahun, Sukoharjito memberinya sebuah cincin yang terbuat dari leburan cincin milik nenek Sukoharjito yang telah meninggal. Seperti harapan seorang gadis kebanyakan, Elisa mengharapkan Sukoharjito yang memasangkan cincin itu di jari manisnya. Harapan itu harus kandas karena Elisa sendiri yang mengambil cincin itu dan memasangkannya sendiri di jari manisnya sebelah kiri. Setahun sudah Elisa menjalin hubungan dengan Sukoharjito. Akan tetapi tak selamanya Sukoharjito dapat menemaninya atau mendatanginya ketika ia libur tidak ada jadwal penerbangan. Terkadang Sukoharjito akan datang ketika Elisa sedang kelelahan setelah jadwal penerbangan yang padat untuk memenuhi hutangnya menemui Elisa. Terkadang Elisa harus pergi seorang diri dengan teman-temannya ke sebuah pesta karena mendadak Sukoharjito mendapatkan tugas dari atasannya. Hal itu terus berulang dengan alasan yang hampir selalu sama. Namun, Elisa tak pernah merasa kesal atau marah. Ketika ia merasa kesal atau marah terhadap sikap kekasihnya itu dengan mudah ia akan memaafkannya karena ia tidak tahan dengan rayuan yang diutarakan Sukoharjito. Kabar yang tidak diharapkannya pun datang. Ketika ia sedang menghadiri acara perkawinan anak buah Lansih, ia memdapatkan kabar bahwa Sukoharjito akan menikahi kemenakan ajudan Presiden. Kabarnya Sukoharjito dan kekasihnya akan menikah sekitar satu bulan atau satu setengah bulan lagi. Awalnya Elisa tak menyadari apa yang akan ia rasakan setelah menerima kabar itu. Namun, kemudian ia menyadarinya dan menangis mertapi nasibnya sendiri. Untuk mengurangi kesedihannya, Lansih memberi saran kepada Elisa untuk mengunjungi Talib di rumah sakit.
Esoknya Elisa mengunjungi Talib di rumah sakit, keadaannya mulai memmbaik. Talib telah dapat duduk. Jari-jarinya sebelah kiri sudah dapat merasakan sentuhan. Elisa berusaha menutupi kesedihannya di hadapan Talib, sikapnya dengan Talib hampir sama. Saling diam dan terkurung. Sukar sekali untuk sampai tahap keakraban keluarga. Sepulangnya dari rumah sakit, Elisa terus masuk ke dalam kamarnya. Selama dua pekan lebih Elisa hidup seperti daun yang tertanggal dari dahan. Hingga suatu hari sepulangnya dari dinas, ia diberi tahu oleh Lansih bahwa adik Sukoharjito datang ke rumah. Lansih memberikan alamat tempat tinggal adi-adik Sukoharjito pada Elisa. Ia tak tahu harus berbuat apa dihadapan kedua adik Sukoharjito. Untuk membesarkan hati Elisa agar tidak terlalu terlarut dalam kesedihannya, Lansih memberi tahu Elisa alasan mengapa Sukoharjito akan segera menikahi kekasihnya. Alasannya adalah karena kekasih Sukoharjito telah mengandung anak dari saudara sepupunya itu. Anna dan Wati pun turut menyampaikan opini mereka tentang sikap Sukoharjito yang pengecut dan tidak tegas. Pandangan-pandangan itu membuat hatinya lega, ia merasa beban yang selama ini ia rasakan sudah menghilang. Setelah hubungannya kandas dengan Sukoharjito, Elisa dekat dengan seorang lelaki bernama Gail. Gail adalah seorang wartawan asing sebuah pusat siaran radio dan televisi Amerika. Sifat Gail yang perhatian membuat Elisa tertarik pada Gail, tetapi sifat Elisa seperti Wati. Sukar berkenalan dan bergaul. Suatu sore, sepulangnya Eilsa dari bertugas Lansih memberitahunya bahwa Gail akan berkunjung sore itu. Elisa menanyakan alasan Gail datang ke rumah, apakah ada urusan dengan Wati. Tetapi Lansih mengatakan bahwa Gail ingin bertemu dengan Elisa, awalnya Elisa tidak mengerti dengan sikap Lansih yang selalu ikut campur dalam kehidupannya. Namun, Elis sadar bahwa sikap Lansih yang kadang membuat hatinya sakit adalah karena kesetia kawanan dan kepedulian Lansih terhadap hidup Elisa. Elisa pun mengajak Gail untuk menjenguk Talib di rumah Tuan Sayekti. Elisa merasa sangat senang dapat pergi dengan Gail. Elisa sempat mengalami kecelakaan pesawat yang menewaskan kaptennya, yaitu Sukarna. Kecelakaan pesawat itu menyadarkan Elisa akan keberuntungan yang dimilikinya yang diberikan oleh Tuhan. Namun, pada akhirnya Elisa mengalah pada keadaan buruk yang selalu menimpanya, ia pun memilih untuk kembali ke negara asalnya, Belanda.


























B.  Unsur Intrinsik
1.      Alur
Alur yang digunakan dalam novel karya N. H. Dini yang berjudul “Keberangkatan” adalah alur maju. Pembuktiannya adalah sebagai berikut,
a.       Eksposisi
Keberangkatan keluarga Elisa ke Belanda, karena sikap orang Indonesia yang buruk terhadap keluarganya yang merupakan orang keturunan Belanda.

“Juga hari itu yang terakhir bagi mereka yang berpisahan dengan bumi Indonesia. tanah yang menjadi tempat kerja sementara bagi sebagian orang, tetapi juga tanah yang menjadi negeri kelahiran sejak berpuluh keturunan.” (Keberangkatan, 10)

Keputusan orang tua Elisa untuk meninggalkan Indonesia karena sikap orang Indonesia yang semena-mena karena mereka orang keturunan Belanda.

“Akhirnya semua godaan dan ketakutan itu tidak dapat dilawan. Orang tuaku memutuskan akan meninggalkan Indonesia....” (Keberangkatan, 28)

b.      Konflik
Kebebasan yang Elisa terima dalam bergaul setelah ia keluar dari rumah orang tuanya. Elisa pun dekat dengan beberapa lelaki yang hanya ia anggap sebagai teman mengunjungi pesta, berdansa, atau menonton film.

“Keluar dari rumah orang tua, aku lebih memmiliki kebebasan buat bergaul. Tidak ada orang yang mengatur dengan siapa aku dapat pergi.....Beberapa pemuda yang dulu sering berkunjung ke rumah orang tuaku masih  kadang-kadang muncul. Mereka bisa datang menjemputku untuk bersama bergerombolan mengnujungi pesta, berdansa, atau menonton film.” (Keberangkatan, 30)



c.       Komplikasi
Elisa berkenalan dengan seorang lelaki bernama Sukaharjito yang merupakan saudara sepupu dari Lansih, sahabatnya. Pertemuannya dengan Sukoharjito yang serba singkat dan hanya sebatas kebetulan itu membuat Elisa mengharapkan bertemu dengan Sukoharjito.

“.....Pernah juga kami bertemu ketika aku akan berangkat dinas terbang, kami bercakap-cakap sebentar. Tidak pernah kami membuat perjanjian. Tetapi pertemuan-pertemuan yang serba singkat itu lama kelamaan menjadi sesuatu yang kuharapkan. Setiap saat yang kuhabiskan bersama Sukoharjitomenjadi sesuatu yang berkesan.....” (Keberangkatan, 35)

d.      Klimak
Hubungan Elisa dengan Sukoharjoti pun berlanjut. Namun, hubungan itu tanpa ucapan kata cinta yang keluar dari mulut Sukoharjito. Setiap pertemuan yang mereka lakukan diakhiri dengan ciuman panjang dan pegangan-pengangan Sukoharjito pada tubuh Elisa.

“.....Dan sekali lagi dia menciumku, lama. Aku memejamkan mata. Terbang hingga ke lapisan langit keberapa tak kuketahui. Lalu kurasa tangannya meraba leher, turun ke dadaku. Sentuhannya yang perlahan itu membakar seluruh hayatku. Aku terkejut karenanya. Berusaha menjauhkan diri. Dalam sinar suram kebun.....” (Keberangkatan, 65)

“.....kalau kami memang akan menjadi suami-isteri, dia berhak memanangku seperti miliknya, seperti juga dia adalah milikku. Tetapi aku tidak bisa sampai kepada penyerahan diri mutlak. Keperawanan yang kutempatkan di atas segalanya hanya akan kuberikan jika waktunya telah tiba.” (Keberangkatan, 85)

e.       Anti klimak
Sukoharjito sudah jarang menemui Elisa. Rencana mereka untuk keluar bersama pun selalu gagal karena tugas Sukoharjito yang menjadi alasannya.

“....Kuharapkan sikap tegasnya yang berujud perkawinan. Tetapi sebaliknya, malahan semakin jarang dia muncul atau meniliponku. Selalu dengan alasan yang sama. Dan selalu jika dia datang, aku tidak dapat berbuat sesuatu pun, hanya memandangnya disaat dia mengatakan sebab-sebab mengapa tidak datang ke rumah.....” (Keberangkatan, 132)

f.       Resolusi
Elisa mendengar kabar bahwa Sukoharjito akan segera menikah dengan seorang kemenakan dari ajudan presiden. Berita ini membuatnya sakit hati. Selain itu, perempuan yang menjadi kekasih Sukoharjito telah mengandung. Hal inilah yang menyadarkan Elisa.

“.....Seperti olok-olok tanggal satu April, tetapi diucapkan dengan kesungguhan muka yang tidak dapat disangkal: Sukoharjito akan segera kawin dengan kemenakan ajudan Presiden. Barangkali bulan depan, barangkali satu stengah bulan lagi.” (Keberangkatan, 138)

“.....Lansih berhenti, tetapi tidak menunggu jawaban dari siapa pun, meneruskan sambil menatap mataku,’Karena kemenakan ajudan Presiden itu sudah mengandung. Oleh karenanya keluarganya mendesak agar perkawinan dilangsungkan secepatnya.’ Yang terpikir olehku adalah nasibku sendiri, bukan nasib gadis lain atau siapa saja.” (Keberangkatan, 144)

g.      Selesaian
Sakit hatinya pada Sukoharjito membuatnya sangat terpuruk. Ia pun mengaku kalah pada dirinya sendiri karena tak mampu lagi menjadi warga Indonesia. Elisa kembali ke Belanda.

“.....Keinginan meninggalkan Indonesia yang semula disebabkan oleh Sukoharjito, semakin hari semaki bertambah sebab-sebabnya. Namun aku sekaligus malu jika rekan-rekan sekerja yang mengenalku sebagai seorang gadis peranakan yang ‘terlalu’ keindonesiaan dalam segala hal, tiba-tiba berangkat ke Belanga.” (Keberangkatan, 182)

“.....Ya. untuk kesekian kalinya dia benar. Aku memang kalah. Dengan mati-matian aku telah mencoba mengaikan nasib kepada sesuatu yang kuat, yang dapat kugantungi seluruh hidupku. Yang kukira merupakan satu-satunya tujuan pokok dalam hidupku sebagai seorang perempuan peranakan.....” (Keberangkatan, 183)

Di dalam novel ini terdapat juga kaidah alur, yaitu:
a.       Tegangan (suspense)
Tegangan yang terjadi dalam novel ini adalah ketika Elisa bertemu dengan Talib, paman yang berasal dari serpihan masa lalunya. Ketika Elisa datang ke rumah Talib, Talib mengusirnya karena ia merasa dirinya tidak sakit dan tidak membutuhkan pertolongan dokter maupun orang lain.
b.      Kejutan (suprise)
Kejutan yang ada dalam novel ini adalah ketika kecelakaan yang dialami oleh Elisa, ia menganggap bahwa hal itu merupakan akhir dari hidupnya.
c.       Kemasukakalan (plausibility)
Kemasukakalan yang ada dalam novel ini adalah ketika Elisa mengetahui kekasihnya, Sukoharjito, akan menikah dengan kemenakan ajuda Presiden karena telah dalam keadaan mengandung.

2.      Tokoh dan Penokohan
a. Elisa
Pengiba

“Sekali lagi hatiku dilimpahi perasaan iba yang tidak dapat kutapsirkan. Pandangan bocah yang jernih tanpa dosa itu semakin berlawanan dengan muramnya langit hari itu.....” (Keberangkatan, 14)

Keras Kepala

“Sekali itu kakakku mengerutkan keningnya.’Kau benar-benar keras kepala,’ katanya, tetapi tidak melanjutkan sesuatu pun.” (Keberangkatan, 89)




Terbuka dan Percaya

“.....Sikapku terhadapnya kucoba lebih terbuka dan percaya. Aku ingin menunjukkan rasa terima kasih karena hasratnya memperkenalkannya padaku pada keluarganya.....” (Keberangkatan, 85)

Pendiam

“.....Aku menjadi pendiam dan dingin karena tidak banyak diberi kesempatan buat mengatakan isi hati. Selama tinggal bersama orang tua, aku takut mengambil prakarsa apa pun juga. Karena terbiasa menerima teguran.....” (Keberangkatan, 95)

Sabar

“.....Aku harus bersabar lagi untuk menerima datangnya pinangan.” (Keberangkatan, 104)

b. Lansih
Pengetahuan luas

“.....Kukagumi keluasan pengetahuannya dalam berbagai lapangan. Semakin terasa olehku betapa bedanya latar belakang kehidupan kami berdua.....” (Keberangkatan, 46)

Sabar dan Teliti

“.....Dengan teliti dan sabar, setiap kali ada sesuatu yang harus diterangkannya, tanpa keangkuhan dia memberitahuku. Sejarah dan kekayaan kebudayaan tanah kelahiranku dibukakan oleh Lansih.....” (Keberangkatan, 46-47)

Lembut

“.....Dengan akalnya yang lembut dan manja, Lansih berhasil menarik uang lagi dari saku saudaranya agar membayar buah-buahan yang dibelinya.....” (Keberangkatan, 53)


c.  Anna
Gigih

“.....Kegigihannya meneruskan pelajaran itu membikin kami lunak hati terhadap kesalahan-kesalahannya. Padaku sendiri yang ada ialah kekaguman terhadapnya.....” (Keberangkatan, 44)

Lalai

“.....Setiap waktu dia lalai akan kerja tanggung jawabnya, akulah yang bersedia melaksanakannya. Tetapi aku tidak selalu hadir untuk menutupi kekhilafannya.....” (Keberangkatan, 44)

d. Rini
Malas

“.....luarnya sering berganti, kelihatan rapi. Tetapi baju dalamnya tak keruan. Sobek di sana sini, dikaitkan dengan satu atau dua jarumpeniti karena kemalasannya menjahit.....” (Keberangkatan, 45)

Masa bodoh

“.....mengingatkannya agar mengatur isi lemari, agar meluangkan sampiran pakaian yang ada di kamar. Dengan tertimbunnya baju-baju di lusr lemari menarik nyamuk dan debu. Tetapi Rini masa bodoh.....” (Keberangkatan, 45)

e.  Wati
Lemah lembut

“Namanya Wati, sipatnya lemah lembut keibuan. Selanjutnya dia mengganti Lansih dalam urusan rumah tangga.....” (Keberangkatan, 46)

Cekatan

“.....Meskipun umurnya lebih muda dari Lansih, kecekatannya mengatur segala yang bersangkutan dengan urusan rumah melebihi kami bertiga. Sejak kedatangannya, kami mulai mendapatkan berbagai macam makanan manis yang enak buatan sendiri.” (Keberangkatan, 46)

f.  Sukoharjito
Tidak tegas

“.....Kuharapkan sikap tegasnya yang berujud perkawinan. Tapi sebaliknya.....” (Keberangkatan, 132)

“.....’Aku tidak suka kepada laki-laki yang tidak tegas,’ Wati menyela.’Dia bergaul dengan gadis itu. Tetapi membawamu ke rumah orang tuanya, memberimu cincin.’.....” (Keberangkatan, 147)

Pengecut

“.....menyatakan pikiran masing-masing, bertanya dan bertukar pandapat. ‘Dipandang dari satu sudut, ada baiknya kau tidak kawin dengan Sukoharjito,’ kata Wati.’Melihat sikapnya demikian, bagiku dia pengecut. Tidak berani berterus terang kepadamu.’.....” (Keberangkatan, 146)

g. Talib
Pemarah

“.....Kemudian menjadi pemarah, tidak bisa diajak bicara. Sebetulnya, kalau dipaksa, terus dibawa begitu saja ke rumah sakit, barangkali dia sembuh.....” (Keberangkatan, 106)

Tidak peduli

“Matanya cekung tetap seperti tidak peduli, membuatku tidak tahu lagi apa yang mesti ku katakan.....” (Keberangkatan, 118)

h. Rukmana
Simpati

“Rukmana memegang bahuku tanda simpati. Aku menoleh sambil berusaha tersenyum.” (Keberangkatan, 112)


Pengertian

“.....Dengan sendirinya aku sangat berterima kasih akan pengertian yang ditunjukkan Rukmana terhadapku.....” (Keberangkatan, 113)

i.   Gail
Perhatian

“.....Cara bicaranya yang lumrah dan seadanya, perhatiannya yang luar biasa akan kepentingan-kepentingan wanita seperti yang dapat kudengar dari percakapan hari itu, menyebabkab aku menyukainya.....” (Keberangkatan, 131)

3.      Latar
a. Tempat
Bandara

“Dari tempatku, aku mengawasi majunya iringan penumpang, masuk ke bagian Pabean, terus ke Imigrasi. Mereka berdesakan seperti takut ketinggalan pesawat.....” (Keberangkatan, 13)

“Di seberang hanggar, tampak pekerja-pekerja sedang memuatkan perbekalan dan mengisikan bahan bakar pada sebuah pesawat ‘Convair’.....” (Keberangkatan, 17)

“Seorang pramugari darat tiba-tiba muncul dari kamar tunggu, bergegas mendekati kami.....” (Keberangkatan, 189)

Pasar Senen

“Dari Cikini kami singgah ke Pasar Senen. Dengan akalnya yang lembut dan manja, Lansih berhasil menarik uang lagi dari saku saudaranya.....” (Keberangkatan, 53)

Perumahan Rajawali

“Lalu kami diantar pulang ke Rajawali, Sukoharjito tidak turun, mengucapkan selamat malam sambil mengingatkan janji ke Wisma Nusantara.” (Keberangkatan, 54)

Wisma Nusantara

“Sukoharjito nampak dikenal baik oleh penerima tamu yang bertugas di ruang makan Wisma Nusantara. Kami segera mendapat meja di dinding, mempunyai pandanga ke seluruh isi ruang dan sebagian kebun.” (Keberangkatan, 58)

Rumah Sakit

“Sukoharjito pernah kubawa sekali untuk berkenalan dengan Talib di rumah sakit. Kukatakan sebagai kawanku-begitu saja.....” (Keberngkatan, 140)

Pesawat

“.....Sewaktu naik ke udara, di tempat dudukku, kurasakan kami seperti maju melawan tumpahan air dari angkasa.” (Keberangkatan, 172)

b.      Waktu
Pagi

“Pagi-pagi buta kami memeriksa tanggung jawab masing-masing. Isi  kabin lengkap dengan bantal, selimut dan perlengkapan keselamatan.....” (Keberangkatan, 114)

Siang

“Siang itu aku dinas cadangan. Duduk di restoran lapangan terbang, diajak minum oleh seorang kenalan yang kebetulan mengantar penumpang berangkat ke negeri Belanda.....” (Keberangkatan, 104)

Sore

“Sore itu Anna berangkat ke Surabaya. Sekali itu ia tidak berhasil menukar waktu dinasnya dengan pramugari lain. Tetapi Anna sudah menguasai pelajarannya, dan akan ujian pekan berikutnya.....” (Keberangkatan, 56)

Petang

“Petang hari, kami tiba di Mangkubumen Kulon. Jalan yang menuju ke rumah orang tua kekasihku tidak beraspal. Di kanan kiri dijajari pohon-pohon cemara, rapi dan sejuk.....” (Keberangkatan, 98)

c.       Suasana
Muram

“Harinya basah dan muram. Juga hari itu yang terakhir bagi mereka yang berpisahan dengan bumi Indonesia. Tanah yang menjadi tempat kerja sementara bagi sebagian orang.....” (Keberangkatan, 10)

Mengecewakan

“Kubayangkan dalam mimpi-mimpi kegadisanku, pemuda yang kucintai akan  memasukkan cincin pada jariku. Tapi dalam hidup yang sebenarnya, kekasihku itu hanya mengajakku ke tukang emas, membikinkan cincin yang terbuat dari bekas cicin kawin neneknya yang telah meninggal, dan aku disuruhnya memilih macam batu yang kukehendaki. Aku bahkan ke toko emas itu seorang diri untuk mengambil barang yang telah jadi beberapa waktu kemudian. Tidak ada tangan pemuda yang memasangkannya, melainkan tangan kananku sendiri.....” (Keberangkatan, 130)

Menyenangkan

“Seperti terlepas dari hukuman, amat lega hatiku. Gail berdiri dari kursinya, dengan sekali langkah berada di depanku. Tanpa basa-basi direngkuhnya tubuhku ke dalam pelukannya. Kami berdua tertawa gembira seperti kanak-kanak.” (Keberangkatan, 137)

Menyedihkan

“Seketika itu juga aku belum menyadari apa arti kabar tersebut bagiku. Baru setelah saat-saat berangsur mengalir, semakin terasa beta luka dan pedihnya hatiku. Keesokan harinya, aku tidak dapat menguasai diri untuk menghentikan tangis yang meratapi nasibku.....” (Keberangkatan, 139)


Menegangkan

“Tiba-tiba, seperti menerima sebuah pukulan, kapal miring ke kanan, sesaat kemudian miring kembali ke kiri. Dan dengan kecepatan luar biasa terjun ke bawah bagaikan sebuah batu yang dilemparkan ke dalam sumur. Seketika itu juga aku merasa dingin. Tengkukku bagaikan diraba oleh udara beku. Seluruh tubuhku gemetar, seolah-olah suatu peringatan akan terjadinya sesuatu yang menakutkan, sebuah kecelakaan yang mengerikan.....” (Keberangkatan, 173)

4.      Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan penulis dalam novel “Keberangkata” ini adalah sudut pandang orang pertama atau penceritaan akuan. Pencerita sebagai salah satu tokoh dalam cerita berkisah pada dirinya sendiri dengan sebutan aku atau saya. Novel “Keberangkatan” menggunakan sudut pandang orang pertama tokoh utama karena pencerita bertindak sebagai tokoh utama yaitu Elisa.

“Aku telah siap. Sebentar-sebentar berdiri berjalan dari depan ke belakang untuk menenangkan urat sarap. Kadang-kadang Wati memandangiku, tetapi tak berkata sesuatu pun. Kupikir, dia tidak pernah mengalami kegelisahan yang kusandang waktu itu.” (Keberangkatan, 56)

5.      Gaya dan Nada
Gaya dan nada bahasa yang digunakan oleh penulis adalah pengucapan bahasa sehari-hari dengan beberapa tambahan bahasa Belanda dan istilah-istilah yang ada di bandara atau awak pesawat.

“.....Aku melangkah mendekati kumpulan keluargaku. ‘Dag, Elisa,’ kata Silvi. Aku merangkulkan lengan pada leher adikku. Tanpa berkata-kata lagi, kami berpelukan.....” (Keberangkatan, 10)

“Suatu petang aku tiba kembali dari Manila. Di dalam pesawat ada tokoh penting pejabat pemerintah. Biasa disebut penumpang VIP dalam bahasa kerja kami. Rombongan orang-orang demikian selalu disertai sejumlah pengikut, apalagi jika perjalanan itu datangnya dari luar negeri. Demikian juga barangnya. Oleh karenanya, kami awak pesawat biasa menunggu lama di Pabean. Tergantung kepada banyaknya petugas serta jam kedatangan pesawat. Kalau kebetulan ada yang kami kenal baik, atau yangmemperhatikan keletihan kami, salah seorang dari mereka datang mendahulukan barang-barang awak pesawat. Tetapi lebih sering kami menunggu hingga tiba giliran.” (Keberangkatan, 32)

6.      Tema
Menurut saya, tema yang digunakan penulis dalam novel ini adalah kritik sosial. Mengapa bisa begitu? Karena, ketika kita membaca novel ini dari awal sampai akhir kita bisa mengetahui bahwa terjadi pertentangan antara rakyat Indonesia dengan orang-orang yang berasal dari Belanda. Walaupun pada saat itu telah banyak warga Belanda yang berpindah kewarganegaraan menjadi warga Indonesia. Namun, masyarakat Indonesia pada saat itu masih belum bisa menerima kenyataan bahwa banyak warga Belanda yang bepindah kewarganegaraannya. Sehingga banyak warga Belanda memutuskan untuk kembali ke negaranya karena tidak tahan dengan sikap rakyat Indonesia saat itu yang kasar.

“Kata Teo, satu-satunya kedai yang mau menerima mereka terletak jauh di ujung jalan. Itu pun dengan muka serta sikap yang menyakitkan hati. Beberapa tetangga menghindar, tidak mau berbicara. Setiap kali anak-anak kampung melihat mereka, beramai-ramai berseru sambil mengikutinya.’Anjing Belanda! Anjing Belanda!’” (Keberangkatan, 28)

“Dalam keadaan yang membara, nama-nama seperti Van Hoppe, Frissart, dan Dowes selalu menjadi tujuan intaian para pemburu. Ya, karena sebenarnyalah istilah pemburu yang patut dipergunakan. Begitu keputusan pihak atasan diumumkan, muncullah demonstrasi-demonstrasi kebencian terhadap orang asing. Seolah-olah telan direncanakan dari semula, tulisan-tulisan dengan huruf besar-besar dan nyata dalam warna menyala tergores pada tembok-tembok atau pintu rumah-rumah kediaman orang asing: Anjing Belanda, pulang ke negerimu! Ini bukan negeri orang bule! Dan kata-kata lain yang melukai dan kasar pengertiannya.....” (Keberangkatan, 27)

7.      Judul
Keberangkatan


C.  Unsur Ekstrinsik
1.      Biografi
Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin atau yang lebih dikenal dengan nama NH Dini memang sudah tak asing lagi sosoknya didunia sastra Indonesia. Potongan-potongan karyanya sering kita temui pada soal-soal ujian bahasa Indonesia. Karya-karyanya yang berjudul Tirai Menurun, Namaku Hiroko, Pada Sebuah Kapal, La Barka serial Kenangan dan masih banyak lagi mampu membuat namanya menjadi salah seorang sastrawan yang diperhitungkan keberadaannya di tanah air.
Lahir di Semarang tanggal 29 Februari 1936, anak pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah ini sudah mulai tertarik dengan dunia tulis menulis sejak ia duduk di bangku kelas 3 SD. Dini kecil senang menuangkan segala pikiran dan perasaannya saat itu melalui tulisan. Memasuki sekolah menengah, ia mulai rajin menulis sajak puisi atau cerpen yang lalu dipajang di mading sekolahnya. Diusianya yang ke 15, ia mengirimi tulisan-tulisannya ke siaran nasional RRI Semarang dan membacakannya sendiri.
NH Dini juga sempat bergabung dengan kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Bersari bersama kakaknya Teguh Asmar dan sesekali  menulis naskahnya sendiri saat ia duduk di bangku SMA.  Ia juga pernah bekerja sebagai pramugari di Garuda Indonesia Airways. Sembari bekerja sebagai pramugari, ia menulis bukunya berupa kumpulan cerita pendek yang berjudul Dua Dunia dan mencapai kesuksesan yang begitu mencengangkan. Dalam banyak bukunya, NH Dini suka menuliskan cerita yang menggambarkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan salah contohnya adalah buku yang berjudul Jalan Bandungan.
Menikah dengan Konsul berkebangsaan Perancis bernama Yvess Coffin, NH Dini melahirkan dua anak bernama Marie Claire dan Pierre Louis Padang yang kini masing-masing menetap di Kanada dan Perancis. Dan seperti kita tahu, Pierre Louis Padang merupakan seorang sutradara dari film animasi berjudul Despicable Me 2 yang sukses berbagai belahan negara di dunia.
Sebagai seorang istri diplomat, NH Dini diharuskan untuk mengikut suaminya berpindah-pindah dari satu negara ke negara yang lain. Ia bersama keluarganya pernah tinggal di Jepang, Kamboja, Filipina, Amerika Serikat, dan Perancis. Namun, tahun 1984 ia bercerai dengan suaminya dan sempat menimbulkan intrik karena meninggalkan konstitusi perkawinan dan anak-anak lalu kembali memperoleh kewarganegaraan Indonesia tahun 1985.
Saat menerima penghargaan SEA Award dibidang sastra oleh pemerintah Thailand, Dini berujar bahwa ia hanyalah seorang penulis biasa yang menuliskan realitas kehidupan, kepekaannya terhadap lingkungan sekitar dan juga pengalaman pribadinya. Selain itu, wanita yang mempunyai hobi dengan dunia tanaman ini mendirikan pondok baca yang ia bernama Pondok Baca NH Dini.
Tahun 1991, Dini meraih piagam penghargaan dari pemerintah kota tingkat I Jawa Tengah setelah sebelumnya menerima hadiah seni dibidang sastra dari kementrian PdanK tahun 1989. Selama hidupnya, Dini selalu memegang teguh ajaran budipekerti yang diajarkan oleh kedua orangtuanya. Ia juga tetap mempertahankan sikap idealisnya dalam menulis, dan itulah sebabnya kenapa Dini tidak ingin terikat kontrak dengan penerbit-penerbit besar yang menerbitkan buku. Baginya, ia ingin terus mempertahankan kreativitasnya dalam menulis.

2.      Sosiologi
Dari kehidupan penulis yang sangat menjunjung tinggi atau memegang teguh ajaran budipekerti yang diajarkan kedua orang tuanya serta pengalamannya menikah dengan seorang Konsul berkebangsaan Perancis membuatnya memiliki kebudayaan yang ganda yaitu kebudaan Jawa yang kental dan kebudayaan asing yang tidak ia hilangkan begitu saja. Dalam novel ini unsur Jawa yang masih dimiliki oleh N. H. Dini dapat kita lihat pada penggambaran tokoh Lansih yang setia kawan dan tokoh Wati yang lemah lembut keibuan. Kemudian unsur asing dapat kita lihat pada tokoh Elisa. Kita dapat melihat unsur asing pada perilaku kesehariannya ataupun perilakunya yang bebas bergaul dengan siapapun.

3.      Pandangan Pengarang
Dari dalam novel kita dapat mengetahu pandangan pengarang mengenai keadaan Indonesia saat itu dan dari pandangan pengarang juga kita dapat mengetahu bagaimana keadaan pesawat dan organisasi perusahaan GIA sebenarnya. Keadaan Indonesia yang sedang ruwet karena banyak demo yang dilakukan rakyat menolak adanya warga Belanda yang mengikrarkan diri menjadi warga negara Indonesia. Rakyat Indonesia saat itu tidak terima dengan masih banyaknya warga Belanda yang tidak segera pergi dari Indonesia pulang ke negara asalnya. Kemudian mengenai keadaan pesawat dan organisasi perusahaan GIA, kita mendapatkan gambaran bagaimana keadaan pesawat di Indonesia saat itu. Banyak pesawat yang mengalami kerusakan sebelum lepas landas dan adapula kisah dimana pesawat yang ditumpangi oleh Elisa, tokoh utama, jatuh ketika mereka baru lepas landas selama lima belas menit. Hal ini menjadi sorotan tersendiri bagi pembaca karena tidak semua dari kita tahu mengenai masalah penerbangan di Indonesia.

4.      Latar Belakang Penulisan Novel
Latar belakang penulisan novel “Keberangkatan” oleh N. H. Dini menurut saya adalah pandangannya mengenai sikap seorang wanita yang harus tetap kuat walaupun ia tidak diakui kewarganegaraannya dan ditinggalkan oleh kekasihnya begitu saja. Seperti yang kita tahu, bahwa beberapa karyanya beririsikan kesetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan. N. H. Dini mengatakan bahwa dirinya hanyalah penulis biasa yang bahan tulisannya berasal dari realitas kehidupan, keadaan lingkungan di sekitarnya, dan pengalamannya sendiri. Dalam novel “Keberangkatan” ini kita bisa melihat banyaknya istilah dalam penerbangan dan seluk beluk keadaan maskapai penerbangan GIA yang dapat kita temukan dengan mudah di dalam novel. Hal ini dapat terjadi karena sebelumnya N. H. Dini pernah bekerja sebagai seorang pramugari di Garuda Indonesia, jadi tidak mengherankan bahwa ia tahu semua mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan pramugari dan penerbangan beserta masalahnya masing-masing serta lingkungan yang ada di sekitarnya.
D.  Pendekatan
Pendekatan merupakan salah satu unsur yang ada dalam menganalisis sebuah novel. Pendekatan itu sendiri merupakan cara kita untuk mengetahui isi atau seluk beluk novel yang kita analisis. Pendekatan dibagi menjadi lima, yaitu pendekatan emotif, pendekatan analitis, pendekatan histois, pendekatan sosiopsikologis, dan pendekatan didaktis. Pendekatan emotif adalah pendekatan yang didasari oleh emosi dan keindahan dalam karya itu sendiri. Pendekatan analitis merupakan pendekatang yang membuat kita melihat cara, sikap, dan mekanisme pembangunan di dalam novel. Pendekatan historis merupakan pendekatan yang kita lihat dari segi adanya latar belakan sejarah dalam novel. Pendekatan sosiopsikologis adalah pendekatan yang dilakukan melalui latar belakang kehidupan sosial. Kemudian yang terakhir adalah pendekatan didaktis, pendekatan ini menemukan dan memahami hal yang berkaitan dengan gagasa atau ide dalam sebuah novel. Sebuah pendekatan dapat muncul bersamaan atau sendiri-sendiri bergantung dengan pendekatan yan menonjol dalam novel itu sendiri. Jika semua pendekataan muncul secara bersama-sama disebut dengan istilah elektik.fungsi dari elektik ada tiga, yaitu agar pembaca tidak merasa bosan, jika yang digunakan hanya satu pendekatan info yang akan diterima oleh pembaca tidak akan lengkap, dan komplek. Namun, ketika semua pendekatan muncul pilih salah satu pendekatan yang sangat menonjol dari karya sastra itu. Menurut saya, novel berjudul “Keberangkatan” karya N. H. Dini memiliki kelima unsur pendekatan, tetapi pendekatan yang paling menonjol adala pendekatan emoti, pendektan yang memperhatikan aspek emosi dan keindahan yang dirasakan oleh tokoh dalam cerita. Ketika seseorang membaca novel ini mereka akan merasakan emosi yang menggebu. Emosi yang muncul ketika jam tangan yang dibeli Elisa diminta secara paksa oleh ibunya; ketika Elisa bertemu dengan Talib yang berasal dari masa kecilnya; ketika Elisa mendengar kabar bahwa kekasihnya, Sukoharjito, akan menikah dengan gadis lain; ketika Elisa pergi ke rumah Tuan Sayekti menggunakan scooter bersama Gail dan ia merasakan kegembiraan yang belum ia rasakan setelah putus dengan Sukoharjito; ketika Elisa mengalami kecelakaan pesawat yang menewaskan temannya, Sukarna; dan ketika Gail mengetahui bahwa Elisa akan berangkat ke Belanda esok harinya. Pembaca bisa merasakan emosi dan keindahan yang dialami oleh tokoh yang ada di dalam novel. Kemudia pendekatan sosiopsikologis, pendekatan sosiopsikologis merupakan pendekatan yang memperhatikan aspek latar belakang kehidupan sosial. Dalam novel ini kehidupan sosial Elisa yang merupakan seorang pramugari yang juga merupakan peranakan Belanda, harus menerima pandangan orang yang beranggapan bahwa seorang peranakan asing terbiasa dengan pergaulan bebas. Keluarganya yang juga merupakan peranakan Belanda tak luput dari olok-olok yang dilontarkan oleh warga di lingkungan kampung tempat keluarga Elisa tinggal. Kemudia Psikologis Elisa yang lupa akan masa kecilnya dan tidak dekat dengan ibunnya. Saat ia putus cinta dan patah hati, ia berpikiran bahwa hanya dirinyalah  yang merasakan kemalangan itu tanpa peduli dengan lingkungan kerja maupun rumahnya. Pendekatan lain yang terdapat dalam novel ini adalah pendekatan analitis, pendekatan historis, dan pendekatan didaktis. Namun, semua pendekatan tersebut tidak terlalu menonjol. Pendekatan analitis dapat kita gunakan ketika Elisa bertemu dengan Rama Beick yang membicarakan mengenai seseorang yang muncul dalam banyangannya mengenai masa kecilnya dan ketika pertama kalinya ia bertemu dengan Talib yang berasal dari bayangan mengenai masa kecilnya. Kemudian pendekatan historis digunakan ketika pemerintah membuka pendaftaran bagi warga Belanda yang ingin kembali ke tanah airnya. Terakhir adalah pendekatan didaktis. Pendekatan ini dapat kita gunakan ketika Lansih mengingatkan Elisa bahwa kemalangan yang ia rasakan bukanlah satu-satunya hal yang peting untuk dipikirkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar