Rabu, 03 Desember 2014

Menangisi dan Tersakiti

Hujan semakin deras, tetapi langkah kakinya tetap cepat menyipratkan air coklat yang mengenai orang-orang yang disekitarnya. Caci maki terlontar cepat, secepat langkah kakinya saat ini. Tubuhnya yang basah dan rambut panjangnya yang mulai lepek tak membuatnya tergiur untuk ikut berteduh seperti yang lainnya. Matanya tetap fokus pada jalan yang membawanya ke taman kota yang sepi. Hujan membuat semua orang meninggalkan taman ini dengan hawa dingin yang menggigit. Ia berhenti, mengamati setiap sisi taman yang sepi. Mencari. Namun, tak ada sosok yang dicari. Berjalan kembali mengitari taman yang sebenarnya sangat ia hindari. Hujan mulai mengerti, rintik deras yang sedari tadi menemaninya kini berganti dengan rintik gerimis yang sedari tadi ia nanti. Berhenti lagi. Ia mencari bangku yang pas untuk ia singgahi. Siapa tahu orang yang ia cari
kembali ke taman ini.
Ia tertunduk, mengamati tubuhnya yang basah kuyub. Ia tak peduli, yang ia pedulikan hanya sosok orang yang sangat ia nanti. Namun, apa yang akan terjadi? Jika hanya ilusi yang membawanya kemari, ke taman ini. Ia akan sangat menyesal nanti. Kata-kata membodohi diri sendiri sudah siap menanti.
Taman ini nampak tak berganti. Pohon mahoni yang tinggi, bangku taman yang sepi, dan gazebo yang sunyi. Gazebo. Gazebo yang mengingatkannya akan hal yang tak ia mengerti. Hal yang mampu membuatnya seperti mati suri. Bahkan, membuatnya tak ingin kembali ke taman ini. Seperti kotak pandora yang mengikat pikirannya setiap hari.
Namun, pagi ini pikirannya berganti. Surat putih telah menantinya pagi ini, di mejanya yang nampak tak rapi. Tulisan rapi mengajaknya kembali ke taman ini. Mengajaknya kembali mengenang apa yang telah lama terjadi.
Hujan telah berhenti. Berganti dengan matahari yang menghapus sepi dan  sunyi. Orang-orang kembali. Meramaikan taman yang sempat mereka hindari. Seorang lelaki mendekatinya dengan pasti. Membawa sebongkah harapan di tangan kiri. Ia tak menyadari. Hingga sang lelaki semakin mendekati.
Lelaki itu mengamati mu, kau sadar akan itu. Kau menengadah, kau melihat lelaki itu, lelaki tua ada di hadapanmu saat ini. Membawa secarik kertas putih yang membuat mu tak mengerti. Kau menerimanya, kau makin tak mengerti. Lelaki tua itu berlalu pergi. Meninggalkanmu yang masih tak mengerti.

Kau buka kertas itu dengan hati-hati. Terlihat tulisan rapi persis yang tadi pagi. Kau mengernyitkan dahi. Membaca kata-kata dengan hati-hati. Kau terpana setelah mengakhiri. Kau kembali tertunduk tak peduli. Terdengar suara retak dalam diri. Ternyata benar, semua yang engkau bayangkan hanya ilusi. Kembali, di taman ini. Kau menangis dan tersakiti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar