Kamis, 13 November 2014

Tangisan Pilu Hayati

Siang itu matahari tak nampak diperaduannya, sepertinya saat ini ia sedang malas keluar. Awan mendung tampak mulai gusar, menanti waktunya untuk menumpahkan segala amarahnya. Layaknya sang awan, Hayati juga nampak gusar. Hatinya sedang tak ingi diajak kompromi. Dua jam sudah ia duduk di kursi depan menanti dan mengharapkan kedatangan suaminya, tetapi lelaki itu tak nampak juga. Perlahan air matanya menetes, tangisannya pun pecah dibarengi awan mendung yang tak tahan lagi dengan kegusarannya, kemudian menumpahkan segala amarahnya ke bumi.
Hayati kembali teringat dengan kejadian dua hari yang lalu. Ketika Bangpuase, preman di desanya, datang ke rumah dengan kabar yang tak diduganya sama sekali. Awalnya ia tak percaya akan perkataan Bangpuase, tetapi hatinya tak bisa diajak kompromi untuk pertama kalinya.
“Ngapai lu kesini? Tumben-tumbenan lu main ke rumah gua!” ucap Hayati ketus.
“Jangan galak-galak lah mpok, lu mau denger kabar terbaru dari laki lu kagak?” rayu Bangpuase agar dirinya bisa duduk sejenak dan menikmati kudapan yang ada di meja ruang depan milik Hayati.
Hayati mulai tertarik, lakinya sudah seminggu tak pulang ke rumah. Namun, dirinya masih menahan ketertarikannya agar Bangpuase tak mendapatkan keinginannya dengan mudah. Hayati sudah kenal betul siapa Bangpuase, preman kampung yang licik dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginananya.
“Yaudeh, sini masuk. Lu ketemu laki gua dimane?” tanya Hayati langsung.
“Sabarlah mpok, gua nikmatin dulu nih kue mahal,” jawabnya, sembari mengambil kue yang ada di meja tanpa meminta persetujuan dari Hayati.
Hayati sudah terbiasa dengan sikap Bangpuase, walaupun warga kampungnya banyak yang menjauhi Bangpuase dan memperingatkan Hayati. Namun, Bangpuase adalah salah satu tetangganya yang mau menemaninya ke desa sebelah untuk bermain ceki. Walaupun begitu, Hayati tetap berhati-hati dengan perilaku Bangpuase yang licik.
Hayati memandangi Bangpuase yang sedang menikmati kue mahal yang ia beli di kota kemarin. Hayati tak tahu dengan kabar yang dibawa oleh Bangpuase. Bangpuase telah selesai menikmati kuenya.
“Buruan ngomong, kagak usah banyak basa-basi lagi,” ucap Hayati tak sabar.
“Sabar mpok,” Bangpuase membenarkan posisi duduknya. “Kemarin siang, gua ketemu laki lu di pasar. Die kagak sendirian mpok, die lagi jalan sama cewek cantik. Gua ngasih tau lu, karena gua peduli mpok sama lu. Gua kagak mau Si Miun, laki lu itu, nyakitin hati lu. Jadi, gua samperin die dan tanya kemana aja die seminggu ini. Tapi mpok, gua jadi kagak enak mau ngomong,” Bangpuase berpikir sejenak. “Laki lu bilang, die udah kagak tahan sama sikap lu. Die udah kagak mau tau lagi tentang lu dan die bilang kalok die mau nikah sama cewek yang jalan sama die ntuh,” jelas Bangpuase mulai tak enak.

Mendengar hal tersebut, Hayati merasakan ada retakan dalam dirinya. Suami yang selama ini sabar menghadapi perilakunya, sepertinya sudah menyerah. Bang Miun, suaminya yang ia sayangi, walaupun hal itu tak diketahui oleh Miun. Sepertinya sudah menemukan pengganti dirinya. Hatinya tak lagi retak, kini hatinya telah hancur berkeping-keping.
Bangpuase yang paham akan keadaan Hayati, memilih untuk pergi. Bangpuase tak ingin membuat pikiran Hayati semakin ruwet dengan kehadiran dirinya. Hayati yang melihat kepergian Bangpuase tak mengatakan sepatah kata pun. Ia sudah terlalu bingung dengan kabar yang disampaikan oleh Bangpuase. Puncak kebingungannya adalah hari ini, seminggu lebih Bang Miun tidak pulang. Hayati tak tahu lagi harus mencarinya kemana.
Seseorang masuk ke pekarangan rumah Hayati, dibawah guyuran hujan yang deras orang tersebut nampak sehat tanpa kekuarangan satu apa pun. Hayati tak sadar akan kehadiran orang tersebut. Hayati masih menangis, rasa pedih di hatinya tak mampu ia tahan sendiri. Orang itu telah berada dihadapan Hayati. Payung yang ia bawa ia taruh didekat kakinya.
“Lu, nangis?” tanya orang itu dengan nada heran.
Hayati menghentikan isaknya, ia terkejut dengan suara tanya dari orang  itu. Suara yang sangat ia kenal. Suara yang telah ia nanti selama seminggu lebih. Suara yang mampu menenangkannua. Akhirnya suara itu kembali, pemilik suara itu telah kembali.
“Bang Miun!” teriaknya histeris, ia langsung memeluk suaminya itu.
“Apaan sih lu, tumben-tumbenan lu nangis. Kagak main ceki lu sama Bangpuase?” jawab Miun masa bodoh dengan istrinya.
“Bang, aye kagak mau dimadu. Aye kagak mau Abang nikah lagi, emang siapa sih Bang yang buat Abang jadi kayak gini,” Hayati kembali menangis.
“Lu ngomong apaan sih? Kalok lu kagak mau gue madu, lu kudunye ngurusin gua. Kagak main ceki sama Si Puase terus, ngurusin rumah sama laki lu. Kagak kelayapan melulu, lagian hak gue mau nikah berapa kali,” jawab Miun acuh.
Hayati hanya mampu menangis, ia sadar selama ini tak mampu mengurusi suaminya dengan baik. Ia tak mampu lagi berucap, semua yang dikatakan suaminya benar. Ia tak becus menjadi seorang isteri, ia tek becus mengurusi rumah maupun rumah tangganya sendiri. Ia berusaha untuk kuat, ia harus menanggung semua kesalahannya yang ia perbuat sendiri.
“Kapan Abang mau nikah?” tanya Hayati berusaha tegar.
“Gua nikah besok, gua langsungin pernikahanye di rumah. Gua mau lu bantu enyak nyiapin semuanye, gue kagak mau denger lagi keluhan lu. Gua mau masuk dulu, mau tidur,” jawab Miun ketus.
Hayati berusaha sabar, ia tak ingin membuat suaminya semakin membencinya. Hayati menyanggupi permintaan Miun untuk menyiapkan pernikahan. Ia tak tahu bagaimana ia mampu menahan emosinya sendiri. Namun, tanpa ia sadari hati kecilnya telah memendam dendam yang tak ia sadari.
Pernikahan Miun berjalan dengan lancar. Dengan bantuan Hayati pernikahan itu berjalan dengan meriah dan suasana kekeluargaan yang kental. Semua tetangga merasa iba dengan keadaan Hayati saat ini, tetapi mereka mekmaklumi sikap Miun yang memilih untuk menikah lagi.
Miun dan isteri barunya tinggal di rumah yang sama dengan Hayati. Hayati tak masalah dengan hal tersebut. Hal yang paling penting adalah Miun pulang ke rumah dan ada di dekatnya.
Tiga bulan telah berlalu, pernikahan Miun dengan Hayati dan pernikahan Miun dengan isteri barunya tak ada masalah. Hingga suatu hari, ketika Hayati sedang membantu tetangganya yang akan melaksanakan hajatan ia mendapatkan kabar yang membuat hatinya menjadi panas. Kabar itu ia dapatkan dari Bangpuase, katanya Miun dan isteri barunya akan menonton Amir Hamzah di desa sebelah. Selama pernikahan yang Hayati jalani dengan Miun, Miun tak pernah mengajaknya pergi bahkan tak pernah mengajaknya menonton pertunjukan. Hal ini membuat dendam yang ia pendam kembali muncul setelah tiga bulan ia tahan. Bangpuase memberikan saran kepada Hayati untuk membalas kelakuan Miun yang telah keterlaluan terhadapnya. Bangpuase memberi ide utuk menghabisi isteri baru Miun. Hayati yang telah gelap hati pun menerima ide Bangpuase. Hayati berencana menghabisi isteri baru Miun nanti malam, ketika mereka menuju ke desa sebelah.
Hayati telah mempersiapkan semuanya, ia telah mengambil pisau dapur yang telah ia asah terlebih dahulu. Niat balas dendamnya sudah mantap, ia sudah terlalu lelah dengan sikap Miun yang mau menghukumnya karena tak becus menjadi seorang isteri. Malam itu, Hayati melihat Miun dan isteri barunya tengah bersiap-siap untuk pergi. Hayati pun juga telah siap, dengan pisau di tangan dan muka yang ditutupi kain, Hayati telah siap membalaskan dendamnya.
Hayati membuntuti Miun perlahan-lahan, jalanan yang ramai membuat Miun tak sadar akan kehadiran Hayati. Ketika mereka sampai di tempat yang sepi, Hayati segera menutupi hidung dan mukanya dengan selendang yang telah ia bawa. Secepat kilat, Hayati berlari dan menarik tangan kiri isteri baru Miun. Miun yang kaget dengan kejadian itu segera menarik tangan kanan isterinya. Melihat kemungkinan yang sangat kecil untuk membawa isteri baru Miun, Hayati segera menghunuskan pisau yang telah ia bawa ke perut isteri baru Miun. Darah segar mengalir di pisau dan tangan Hayati. Hayati segera lari begitu melihat isteri baru Miun terjatuh dan Miun menangis histeris.
Hayati segera melarikan diri, ia takut jika Miun mengejarnya. Ketika tadi ia mendengar tangisan Miun, ia sadar akan kesalahannya yang sangat fatal. Ia terlalu mengikuti nafsunya, ia terlalu pongah dengan apa yang ia perbuat. Sekarang tangannya gemetar, ia tak tahu harus lari kemana. Jika ia kembali ke rumah, ia tak akan tahan dengan kesedihan yang dirasakan Miun akibat dari perbuatannya. Hayati sempat berpikir untuk lari ke rumah Bangpuase, tetapi ia tak maun jika Bangpuase ikut bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
Ketika ia merasa sudah jauh dari tempat ia membunuh isteri baru Miun, Hayati menghentikan larinya. Nafasnya tersenggal-senggal, kakinya terasa pegal, dan tanggannya masih gemetar. Ia masih bingung harus melarikan diri kemana. Ia langsung duduk karena tak mampu lagi menahan pegal yang dirasakan kakinya. Apa dia kembali saja ke rumah mendiang kedua orang tuanya? Namun, ia teringat bahwa ia sudah menjual rumah mendiang kedua orang tuanya untuk taruhan main ceki. Lalu ia berpikir untuk ke ruman encingnya, tetapi ia teringat kembali bahwa encingnya telah mengusirnya dan melarang dirinya untuk kerumah. Akibat dirinya terlalu sering main ceki dan menghabiskan seluruh hartanya untuk taruhan tanpa tertinggal satu apa pun.
Kemudian Hayati sadar akan perbuatannya selama ini. Ia terlalu sering bersenang-senang sendiri tanpa memikirkan orang tuannya dan suaminya. Selama ia membangun rumah tangga dengan Miun, ia tak pernah menyiapkan makan atau pun mengurusi rumah. Ia terlalu sibuk bermain ceki dengan teman-temannya. Ia selalu meminta uang kepada Miun untuk bermain ceki. Hayati menangis untuk kedua kalinya, bahkan ia sadar bahwa dirinya tak pernah menangis. Ia sadar bahwa dirinya selalu marah jika Miun tak membawa uang sepeser pun. Tangisannya semakin keras dan pilu, ia sadar akan dosa yang telah ia perbuat.
Hayati bangkit dari duduknya, kini giliran kakinya yang gemetar. Dengan langkah gontai Hayati berjalan menuju jembatan yang ada di depannya. Ia tak mampu lagi menahan segala dosa yang telah ia perbuat. Ia telah membunuh semua orang yang dikasihinya. Ia telah membunuh Miun karena ia telah merenggut kebahagiaan laki-laki itu. Hayati tak mampu lagi menahan semunanya.
Saat dirinya telah sampai di jembatan yang menghubungkan desanya dengan desa yang akan dituju oleh Miun, ia segera menepi dan menghadapkan dirinya ke sungai yang arusnya deras karena musim penghujan telah tiba. Hujan kembali turun, nampaknya alam pun mengerti kesedihan dan kebingungan yang dirasakan Hayati. Hayati naik ke atas jembatan, ia sudah tak mampu lagi menahan semua yang telah ia perbuat. Tanpa pikir panjang Hayati langsung terjun ke dalam sungai. Tangisan pilu Hayati kembali terngiang.



2 komentar: