Sabtu, 13 Juni 2015

Khayalan

Bagaimana pagimu hari ini? Apakah menyenangkan? Apakah kau memikirkan ku di pagimu hari ini? Sepertinya tidak, kau mungkin terlalu sibuk dengan pikiran naifmu sendiri.
"Selamat pagi," sapamu tiba-tiba, membuat ku bangun dari lamunan.
"Pagi," jawabku singkat.
"Pagi-pagi begini kok sudah melamun, melamunkan apa?" tanyamu menatap ku dengan mata teduhmu.
"Bukan hal yang penting, kamu tidak perlu tahu," jawab ku tak berani menatapmu langsung.
"Jangan-jangan kamu melamunkan ku? Jujur saja aku tak masalah dengan hal itu," tebakanmu teapat mengenai sasaran, kau tampak santai seperti tak ada beban yang kau rasakan.
Aku hanya diam, aku tak tahu harus membalas ucapanmu dengan apa. Apakah kau akan menghindar jika aku mengatakan hal yang sejujurnya? Hal itulah yang selalu membuatku takut jika aku harus jujur akan perasaan yang kurasakan. Apakah kau akan menerima rasa yang kuberikan, aku pun tak tahu. 
"Tak usah takut, aku tak akan menghindarimu," kau seperti paranormal yang mampu membaca pikiran pasiennya.
Aku masih terdiam, pikiranku kalut dengan semua yang kau ucapkan secara tiba-tiba. Apakah mungkin jika kau juga sering mengamatiku? Apakah mungkin jika kau juga memiliki rasa yang sama dengan yang ku rasa? Apakah mungkin aku bisa memilikimu? Namun, aku tak ingin gegabah dengan apa-apa yang kau katakan barusan.
"Aku...," suara ku terhenti, tak mampu ku melanjutkan.
Pandanganmu langsung tertuju padaku. Aku jengan dengan tatapan teduhmu. Aku jenuh dengan kenyamanan yang kau berikan padaku. Aku jenuh dengan apa yang ku rasakan tentangmu. Aku jenuh akan apa-apa tentangmu.
"Lanjutkanlah," ucapmu menenangkan ku.
"Aku ingin menghayatimu, seperti aku menghayati sebuah puisi atau lagu. Aku ingin memahamimu, seperti aku memahami sebuah novel atau sebuah drama korea. Aku ingin mengertimu, seperti aku mengerti bahwa matahari tak pernah lepas dari kehidupan kita," ucap ku tanpa tahu apakah kau paham dengan maksudku.
Kau terdiam. Aku tak tahu apa yang kau pikirkan. Apakah kau mengerti? Atau kau sedang berpikir untuk memahami. Aku tak pernah tahu akan hal itu. Kau masih terdiam dan kau nampak berpikir keras dengan semua yang ku katakan.
"Jadikanlah aku sebuah novel yang kau ubah ke dalam sebuah puisi yang kau baca setiap hari dari pagi hingga petang," ucapmu dengan senyum merekah dibibirmu.
Aku terperangah dengan jawaban yang kau berikan. Tanpa sadar senyum juga merekah dibibir ku. Tak ku sangka kau merasakan hal yang sama dengan apa yang ku rasakan. Terasa ringan sekali, beban yang kurasakan selama ini telah terangkat.
"Jadi?" tanyaku tak ku lanjutkan.
"Pahamilah aku seperti kau memahami sebuah novel atau sebuah drama korea. Hayatilah aku seperti kau menghayati sebuah puisi atau sebuah lagu. Mengertilah aku seperti kau mengerti bahwa matahari tak pernah lepas dari kehidupan kita," jawabmu dengan mantap.
Aku bangga dengan diriku yang mampu jujur dihadapanmu. Aku bahagia karena kau menanggapi positif perasaan ku.



Untukmu yang hadir dalam mimpi
Untukmu yang membuat keruh perasaan ku
Untukmu yang suatu saat akan kulupakan #entahkapan

Semarang, 14 Juni 2015 11:55

Selasa, 16 Desember 2014

Kehilangan Bukanlah Akhir Segalanya

Dhenok, begitulah orang menyapanya. Nama aslinya adalah Sicilia Sawitri. Lahir di Yogyakarta, 20 Januari tahun 1957. Hidupnya yang berpindah-pindah karena Ayahnya seorang tentara, sempat membuat sekolahnya terhambat. Sebab, ketika ia dan keluarga harus hijrah ke Jakarta dari Kaliurang, ia mengulang masa SD karena pendidikan di Kaliurang sangat berbeda dengan pendidikan di Jakarta. Namun, hal itu tak membuatnya patah semangat. Nilainya semasa SD selalu bagus. Akan tetapi, ketika dirinya duduk di kelas empat SD, ia harus kehilangan orang yang menjadi panutan selama ini. Orang yang menjadi pemimpin dari Ibu, Kakak, Adik, dan dirinya sendiri. Ya, ia kehilangan Ayahnya.
Kehilangan seorang Ayah bukan berarti hidupnya harus berhenti. Ketika dirinya masuk ke SMP, hidupnya harus diuji dengan pandangan remeh teman-temannya. Namun, hal itu tak membuatnya takut. Baginya, hidup adalah miliknya sedangkan orang lain hanyalah komentator.

Rabu, 10 Desember 2014

ANDI DAN BENO

Pada suatu hari, di sebuah desa yang sangat asri. Hidup seorang anak bernama Andi. Sifatnya yang sombong membuatnya tidak disenangi tema-teman di desanya tersebut. Andi sangat jago dalam olah raga lari, sehingga ia selalu mengikuti semua lomba lari yang diadakan di sekolah maupun di desannya. Ia menganggap remeh kemampuan teman-teman di sekolah maupun di desanya. Ia merasa bahwa dirinyalah yang paling jago dalam olah raga lari.
Suatu hari, Andi bertemu dengan Beno. Beno adalah teman dan tetangga Andi yang sangat pendiam. Beno tidak pernah terlihat mengikuti lomba lari yang diadakan oleh sekolah maupun diadakan oleh desanya. Beno lebih suka membaca di perpustakaan sekolah maupun perpustakaan desa. Andi menantang Beno untuk berlomba dengan dirinya. Beno tahu bahwa Andi hanya ingin mengejeknya karena ia tak bisa berlari dengan cepat. Beno menolak permintaan Andi. Namun, Andi tak menerima penolakannya. Andi menetapkan bahwa besok mereka akan bertanding di lapangan sepak bola belakang kelurahan. Beno hanya terdiam melihat kepergian Andi. Dalam benaknya Beno berpikir bagaimana ia bisa mengalahkan Andi. Namun, ia tak mau terlalu memikirkannya.

AYAH

Kau tak pernah lelah
Sinar mata mu selalu cerah
sekalipun kau terbaring lemah
Kau tak pernah lupa tugas mu
Mengajar dan melatih setiap waktu
sekalipun kau terbaring lemah
Kau tak melupakan ibadah
Tayamum menjadi jalan tengah
sekalipun kau terbaring lemah
Kau tak pernah memaksa
Kau terima apa adanya
sekalipun kau terbaring lemah
Kau telah kembali
Kau telah abadi

tetapi kau tetap di hati

Minggu, 07 Desember 2014

Sinopsis Aku, Kamu, dan Hujan

Aku, Kamu, dan Hujan
Oleh : Anita Sari
Mereka menatap hujan dari bawah naungan atap rumbia di saung itu. Saung itu terletak di salah satu sisi halaman rumah Sophie yang luas. Sophie mencoleh pundak Rie dengan telunjuknya. Rie menoleh dan tersenyum. Matanyan yang kecil jadi semakin sipit saat tersenyum. Rie kembali menggerakkan jemarinya di keyboard, sambil sesekali menyingkirkan poni acak di dahinya yang akhir-akhir ini berjerawat. Kulitnya yang coklat membuat jerawat-jerawat kecil itu tidak begitu terlihat, tapi Rie suka menggaruk jerawt-jerawtnya karena gatal. Rambut Rie kemerahan, tapi itu bukan karena diwarnai. Rambut Rie tipis, menjuntai lemas di bahu, dan warna kemerahan  tidak bisa hilang meski ia telah memakai sampo yang katanya sangat bagus untuk menghitamkan rambut. Beda dengan Rie, Sophie memiliki sepasang mata lebar yang lucu, dengan bulu mata hitam lebat yang lurus alias tidak lentik sama sekali,  alis tipis dan pipi chubby, dengan bibir merah muda yang seimbang. Kulit kuning, rambutnya lurus alami, tipis melewati pundah dan selalu dalam keadaan terikat, membentuk ekor kuda.
Keduanya sama-sama suka menulis. Sophie menulis dongeng anak, sedangkan Rie menulis cerita-cerita remaja. Hanya Rie seorang yang membaca tulisan-tulian Sophie, dan hanya Sophie seorang yang membaca cerpen-cerpen Rie. Hal seperti itu sudah berlangsung sejak mereka SMP.
Rumah Sophie dan Rie berhadapan, dipisahkan oleh jalan kampung yang lumayan ramai. Beda dengan rumah Sophie yang segar, rumah Rie besar, bergaya modern dan berlantai dua. Kadang, Sophie dan Rie saling melambaikan tangan dari balkon kamar Rie di lantai dua, dan Sophie di saung depan rumahnya. Ada satu balkon lagi di sana, balkon kamar Virgo. Dari rumahnya, kadang Sophie juga bisa melihar Virgo duduk di balkon kamarnya, hanya saja Sophie tidak pernah memedulikan cowok itu. Sama seperti Rie, ia tidak suka memedulikan Virgo. Bagi Sophie, orang menyakiti sahabatnya, berarti menyakiti dirinya juga. Itulah sosok Virgo di mata Sophie. Gerimis hampir reda, tapi Sophie tidah juga beranjak. Nyaris saja ia melanjutkan lamunannya, andai ponselnya tidak berdering.

Ulasan Milana ‘Perempuan yang Menunggu Senja’

Milana ‘Perempuan yang Menunggu Senja’
Oleh: Bernard Batubara

Saya akan mengulas tentang kumpulan cerpen yang berjudul Milana. Pertama, saya akan mengulas tentang asal usul penulis kumpulan cerpen Milana. Kumpulan cerpen ini ditulis oleh Bernard Batubara. Ia lahir di Pontianak, 9 Juli 1986. Ia merupakan seorang lulusan teknik yang menyenangi seni. Bara, sapaan akrabnya, sudah menulis sejak pertengahan tahun 2007. Karyanya yang lain seperti cerpen dan puisinya dimuat di majalah seni, harian lokal dan nasional, serta antologi bersama. Milana adalah buku keempatnya, sekaligus kumpulan cerpen tunggal pertamanya. Kedua, saya akan mengulas tentang tahun terbit, penerbit, editor, dan ilustrator. Kumpulan cerpen ini diterbitkan pada bulan April tahun 2013. Kemudian cetakan kedua pada bulan Mei pada tahun yang sama. Kumpulan cerpen ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Editor yang membantu Bara dalam penyusunan kumpulan cerpen ini adalah Siska Yuanita.

Napaktilas Terbentuknya Kecamatan Gunungpati

Saya akan mengisahkan tentang sejarah terjadinya atau terbentuknya Kecamatan Gunungpati. Gunungpati merupakan salah satu kecamatang yang terletak di Kota Semarang, Jawa Tengah. Gunungpati merupakan salah satu kecamatan yang terdiri dari 16 Kelurahan, 89 RW, dan 418 RT. Kecamatan yang berada pada arah barat daya sekitar 17 km dari pusat kota Semarang, merupakan wilayah perbukitan dengan ketinggian + 300 meter dari permukaan laut.
                Terbentuknya kecamatan Gunungpati tidak bisa kita lepaskan begitu saja dari kisah peperangan prajurit Tuban dan Pati. Hal ini tidak bisa dipisahkan karena Gunungpati terbentuk berkat adanya peperangan tersebut. Jadi begini ceritanya.
                Pada jaman dahulu ketika Gunungpati masih merupakan hutan yang rindang. Datanglah penduduk Pati yang mengungsi demi keselamatan jiwanya. Salah seorang dari pengungsi itu adalah Kiai Pati. Dengan mengendari sapi peliharaannya yang bernama Pragolapati, ia dan pengikutnya mengungsi demi keselamatan jiwa mereka. Kiai Pati bersama pengikutnya berjalan menyusuri hutan untuk mencari tempat yang aman dan nyaman sebagai tempat menetap. Tibalah rombongan ini di tempat yang mereka anggap aman dan nyaman. Kiai Pati mengatakan bahwa tempat tersebut cukup aman bagi mereka, pendapat itu pun diiyakan oleh para pengikutnya. Kiai Pati bertanya kepada rombongannya untuk menetap di tempat itu. Rombongannya pun setuju. Kemudian Kiai Pati mengumpulkan rombongannya dan mengatakan kepada rombongannya bahwa tempat itu diberi nama Gunungpati. Tempat itu diberi nama Gunugpati karena berada di daerah yang bergunung-gunung, sedangkan kata Pati diambil dari nama Kiai Pati.